Monday, May 24, 2004


Risalah Cinta part.12


Alarm weker membangunkan Rei. Matanya mengerjap-ngerjap menghindari cahaya lampu. Pasti semalam Grev lupa mematikan lampu kamar. Dia bangkit, menatap sekilas pada tumpukan kardus, membuka gordyn dan mematikan lampu. Ke kamar mandi untuk gosok gigi dan mandi, Rei keluar kamar, berusaha menyiapkan sarapan untuk Grev. Hari ini sarapan terakhir mereka di Surabaya sebelum nanti siang mereka terbang ke Jogja. Di dapur, ma telah menghadap kompor ditemani bi Suri, pembantu paling setia pada keluarganya. Kedua wanita setengah abad itu tersenyum begitu melihat Rei di ambang pintu dapur, berdiri mematung.

"Lagi masak apa ma?" bu Surya memperlihatkan nasi goreng di penggorengan yang belum tercampur merata bumbu-bumbunya. Rei menelan ludah, enak sekali nampaknya. Perutnya mulai menari-nari, mengharapkan suapan nasi masuk. Rei teringat Grev, mana mungkin dirinya sarapan lebih dahulu? Karena sarapan telah tersedia, maka Rei cepat-cepat kembali ke kamar, membangunkan Grev.
"Dear ... hmm masih ngantuk .." jawab Grev kembali memeluk guling. Rei mengguncangkan lagi tubuh Grev.
"Mmmmas .. bangun, sarapan. Ingat, hari ini kita harus ke Jogja!" Rei berbisik lembut dekat kuping Grev. Dirinya mulai terbiasa memanggil Grev dengan mas Grev, mas .. seperti itulah, menghormati suami. Grev menggeliat dan membuka matanya sedikit demi sedikit, mendapati wajah Rei yang tersenyum manis.
"Yeah dear .. okay, gue bangun." Grev bangkit, mengecup lembut kening Rei dan langsung mandi. Rei menyiapkan pakaian Grev lalu segera kembali ke dapur. Di ruang makan, bi Suri tengah menata meja. Rei membantu pembantu tua itu sebentar, terus ke dapur memperhatikan ma nya.

"Grev sudah bangun?" tanya ma. Rei mengangguk.
"Pa?" tanya Rei. Bu Surya menggeleng.
"Pa mu sudah berangkat pagi-pagi tadi jam 6 Rei. Ada telepon dari kantornya. Pa tadi malah ga sarapan. Langsung mandi dan berangkat, pa hanya berpesan, bila kalian hendak berangkat, telepon ke hp nya." oh! Rei mendesah. Pa selalu begitu, ga pernah membiarkan masalah perusahaannya tertunda semenit saja. Pa akan selalu berusaha menyelesaikannya secepat mungkin.
"Jadi pa ga sarapan bareng kita nih ma .." celetukan suara pria, Grev, membuat Rei dan ma nya sontak menoleh. Bu Surya mengangguk.
Pagi itu mereka sarapan bertiga, tanpa pak Surya. Ma masih terus menasihati Rei, tanpa henti, tanpa capek. Rei berusaha menanamkan semua nilai baik dari petuah tersebut ke dalam hatinya. Bagaimana pun, orangtua selalu menginginkan anaknya bahagia. Untuk bahagia, butuh hal-hal baik pula. Ma ga ingin Rei bersusah hati kemudian hari, rasanya semua orangtua pun begitu.

Setelah sarapan, Grev memasukan kardus-kardus ke dalam mobil, membawanya pada jasa titipan kilat. Rei berniat ingin ikut, namum Grev melarangnya, ada baiknya Rei istirahat lagi. Rei menurut dan akhirnya memilih menonton tivi bersama ma. Siaran tivi yang itu-itu saja membosankannya. Rei bangkit menuju kamar, rebahan dan tertidur. Menjelang jam 10 Grev membangunkannya, menyuruhnya siap-siap. Rei bergegas, mandi lagi. Grev sendiri merasa tak perlu mandi lagi, cukup berganti baju, standart wanita dan pria memang berbeda. Keduanya siap. Tak ada koper, semua pakaian mereka telah ikut bersama kardus-kardus. Ma menatap Rei, lagi lagi haru. Rei segera menelepon pa nya.
"Halo pa?" suara di seberang menjawab dengan riang.
"Rei!! Bagaimana? Sudah mau berangkat?" tanya pak Surya.
"Yup. Mohon doa nya yah pa .. Rei berangkat, kata mas Grev, naik taksi saja." terang Rei. Nampak terdiam sesaat, mendengarkan dengan patuh, lalu mengucap salam selamat tinggal. Grev dipeluk bu Surya, ada air mata yang mengalir dari bola mata mertuanya itu. Rei memeluk ma nya mesra. Mereka berangkat, taxi yang ditelepon Grev datang tepat waktu membawa sosok keduanya menuju Juanda.

Tak menunggu lama, jam 1 tepat mereka terbang menuju Bandara Adisucipto Jogja. Rei melingkarkan tangannya ke lengan Grev saat mereka tengah keluar dari Adisucipto. Di ruang tunggu nampak pak Musry dan bu Musry telah menanti kedatangan mereka berdua.
"Ma, pa!" tereak Grev. Mereka berpelukan, bu Musry segera menarik tangan Rei, memeluk mantunya hangat.
"Ayok .. langsung ke rumah mu Grev. Disana ma sudah minta tolong si Pardi beres-beres." ajak ma Grev. Pardi, seorang anak kampung yang di tolong pa Grev yang kemudian menjadi perawat taman rumah orangtua Grev. Pardi anak usia 14-an yang sopan dan penurut. Meskipun berasal dari kampung, Pardi tergolong cepat menyerap ajaran-ajaran keluarga Musry. Etika berbicara, bertindak bahkan menyekolahkannya.

Mereka naik mobil pa Grev. Di dalam mobil, bu Musry tak henti-hentinya bercerita tentang Jogja pada Rei. Rumah Grev amat jauh dari Bandara, terletak di jalan Kemetiran. Kata Grev, Malioboro dekat sekali dari rumahnya. Grev berjanji akan melewatkan malam penuh cinta di lesehan Malioboro bila mereka telah tiba di Jogja.
Rumah Grev tergolong lumayan besar. Berpagar coklat tua dan muda dengan garasi di samping pintu masuk, 1 kamar utama dan 2 kamar biasa. Rumah itu bercat putih dan bertegel putih. Dapurnya menarik, mungil dan bersih berkeramik coklat muda. Ditengah-tengah dapur mungil itu ada meja kecil, yang kata Grev lebih sering dipakainya sebagai meja makan. Ruang tamunya ga seberapa luas, dengan 2 pasang sofa dan bantal-bantal plastik berisikan udara dan bola-bola kapas berwarna warni, kontras dengan warna sofa kuning muda dan coklat muda yang tanpa corak, demikian pula dengan ruang makannya. Namun ruang keluarganya termasuk luas, satu televisi 29 inch dan seperangkat sound berhadapan dengan sofa santai coklat dan permadani coklat lembut membuat perasaan Rei begitu terpesona pada suaminya.

Kamar utama yang adalah kamar mereka merupakan ruangan yang paling luas dari rumah Grev. Satu ranjang besi yang besar terletak di tengah dan mepet dinding dengan meja kecil di samping kiri yang diatasnya terletak telepon. Rei menduga, dari sinilah mungkin Grev meneleponnya setiap malam. Di depan ranjang terletak satu sofa mini dan meja kecil. Sudut kiri sofa ada meja kerja lengkap dengan komputer dan speaker aktifnya. Di sudut kanan sofa ada lemari 3 pintu yang kokoh. Pintu kamar mandi terletak di sudut kanan ranjang dengan jendela begordyn biru menghadap sisi kanan ranjang. Rei lengsung menyukai kamar ini, terasa akrab baginya. Puas melihat-lihat rumah, bu Musry mengajak Rei ke halaman belakang, tidak besar, namun banyak terdapat bunga disitu. Kata bu Musry, Pardi lah yang paling sering merawat rumah ini. Kamar mandi umum terlekat bersebelahan dengan dapur, disekat dengan tembok seukuran dada manusia. Dinding rumah Grev nyaris tanpa hiasan. Hanya satu lukisan kuda di ruang tamu dan satu lukisan wayang di ruang makan. Bila ada bunga-bunga di sudut-sudut sebagai pemanis, itu pastilah pekerjaan bu Musry.

Puas melihat-lihat, Rei dan ibu mertuanya duduk santai di dapur. Rei menyeduh 4 cangkir teh hangat. Yah, hangat, karena rumah Grev dari ruang depan hingga belakang ber-ac. Rei butuh sedikit kehangatan dari secangkir teh, sekalian menemani bu Musry ngobrol. Sedangkan Grev, pa nya dan Pardi masih asik menerima barang-barang titipan kilat yang tiba tak berapa lama begitu mereka tiba.
"Wow, acara minum teh?" suara Grev mengagetkan mereka. Pa Grev tertawa renyah lalu duduk disamping istrinya, Grev memeluk Rei dari belakang dan mengecup pipi istrinya sekilas.
"Orang muda sekarang beda ya pa .. mau ciuman pun ga perlu permisi masuk kamar hahaha ..." goda bu Musry, mereka tertawa.
Sore itu mereka minum teh bersama, tak lama kemudian orangtua Grev pamit pulang. Rei berjanji esok akan mengunjungi rumah mertuanya sesegera mungkin sambil melirik suaminya. Pardi ikut pulang. Rei suka pada Pardi, anak yang rajin dan sopan. Lebih tepatnya, Pardi tau diri bagaimana menempatkan posisinya dalam keluarga Grev.

Malam itu Grev mengajak Rei keluar, jalan-jalan menghirup udara malam Jogja. Mereka menuju Malioboro yang jaraknya ga begitu jauh, jalan kaki berdua menambah ke mesraan keduanya. Grev merangkul pundak istrinya mesra, bercerita tentang Jogja dan semua keindahan yang ditawarkannya. Malioboro, ramai pejalan kaki yang mungkin sama seperti mereka berdua, ingin melewati malam dengan suasana romantis ala lesehan. Mereka menikmati gudeg Jogja di salah satu warung lesehan. Saling berbagi tanpa ada habis-habisnya, mengenang pertemuan mereka satu bulan yang lalu. Mengingat pernikahan mereka dan saat-saat bersama mereka setelahnya. Hal ajaib yang terjadi pada diri mereka merupakan cerita abadi yang akan terus dikenang sepanjang masa mereka hidup.

Grev memperhatikan wajah istrinya, lelah terbias disana, saatnya pulang dan berisirahat. Rei sendiri terus menahan kantuk setelah menghabiskan sepiring nasi gudeg yang nikmat.
"Dear .. pulang yuk." ajak Grev seraya bangkit dan menarik tangan istrinya agar ikut bangkit. Rei mengangguk.
"Hu`uh, dah ngantuk berat nih mas." usai membayar, mereka kembali berjalan kaki pulang ke rumah, ditemani cahaya bulan yang tersenyum dari balik awan tipis.

Malam pertama Rei di Jogja. Malam pertama tidur di ranjang Grev. Saat Rei menarik selimut, Grev malah menghidupkan komputer.
"Loh, mas ga tidur? Ga capek?" tanya Rei pelan dari balik selimut. Grev menoleh dan menggeleng.
"Belum dear. Kalau pun ngantuk, banyak kerjaan yang harus dilihat dulu. Banyak surat masuk yang harus dibalas kan?" mendengar surat, Rei tersadar.
"Bisa nge-net dari sini dong mas .. aduh, Rei pengen buka mailbox juga, pasti ada surat dari teman-teman." Grev melangkah ke ranjang dan duduk di samping Rei.
"Ga malam ini. Elu dah ngantuk banget dear. Jangan memaksakan diri, oke? Besok baru boleh, pakai saja sepuasnya. Tapi kalau mau telepon, pakai saja telepon yang ini, ga usah takut dikuping sama setan, beda nomor teleponnya sama yang di dekat dapur kok dear hehehe." awalnya Rei menolak saat ga diijinkan nge-net, namun disadarinya jua, sepasang matanya benar-benar telah berat. Yang dibutuhkannya saat ini adalah tidur. Rei justru menolak menelepon siapa pun saat itu, dia butuh kasur ..
"Oke ..." Grev mengecup kening istrinya lembut, sebagai penghantar tidur dan kembali ke meja kerjanya. Malam beranjak pelan. Nafas Rei mulai teratur, dia tertidur saking capek dan mengantuk. Dari mejanya Grev tersenyum penuh arti.

to be continued!!


Thursday, May 20, 2004


Risalah Cinta part. 11


Usia pernikahan Rei dan Grev menginjak minggu pertama. Rei otomatis harus meninggalkan orangtuanya, ikut Grev ke Jogja. Setelah mengepak barang-barang yang dibutuhkan mereka ngobrol di ruang tamu. Rei nampak semakin cantik dan Grev bertambah tampan. Sebetulnya Grev melarang Rei mengepak barang yang tak perlu, karena rumah Grev, rumah Grev pribadi, telah menyediakan itu semua. Namun Grev akhirnya menyadari, istrinya adalah anak bungsu yang cukup manja, biarlah kenangannya semasa lajang bersama orangtuanya turut menemani. Hitung-hitung dapat menjadi obat pelepas rindu bila sang istri mengalami homeless.

Di ruang tamu telah ada bang Krisna dan mbak Rika (abang nomor satu), turut bersama mereka si Mika (putri pertama Krisna, telah kuliah), Miko (putra kedua Krisna, kelas 3 smp), Mike (putri ketiga Krisna, kelas 3 sd) dan Mark (putra bungsu Krisna, TK). Mbak susi dan bang Dul (mbak nomor dua) bersama dua orang putra kembar mereka Sanusi dan Sanusa yang duduk di kelas 5 SD. Masih ada bang Roy dan mbak Hilda yang saat ini memiliki satu putra, Bento, kelas 3 SD. Lalu bang Greg dan mbak Dika (abang nomor empat) yang menggendong si bayi Jihan dalam pelukannya. Pak Surya dan bu Surya turut duduk di tengah anak cucu-nya, bersenda gurau penuh suka.

Kehadiran sepasang pengantin baru membuat mereka semua terdiam sesaat, dan begitu melihat rona merah di pipi Rei, mereka spontan tertawa terbahak-bahak. Apalagi Mika.
"Idih tante Rei malu-malu hahahah." goda si cantik Mika dengan pandangan mata jenaka. Rei semakin merah padam wajahnya sedangkan Grev menarik lengan istrinya, duduk di salah satu sofa yang kosong.
"Hush, anak kecil!" bentak Rika dengan pandangan jenaka juga. Sungguh, mama dan anak seperti pinang di belah dua deh.
"Udah udah .. setop. Kasihan, nanti tantemu semakin salah tingkah!" sambar Susi lagi. Semuanya kembali tertawa dan Rei tertunduk malu-malu.

"So, gimana neh? Pengantin baru besok berangkat ke Jogja kan?" ujar Krisna, lebih tepatnya bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Grev dan Rei mengangguk membetulkan.
"Loh, lalu barang-barangnya gimana bang?" tanya Rika antusias, tadi sempat melihat banyak kardus yang bersusun di kamar mereka.
"Loh kok tanya aku? Tanya ke yang bersangkutan dong hehehe." jawab Krisna asal sembari mengerling ke arah Rei.
"Hmm nanti barang-barang itu dikirim pagi-pagi lewat tiki, kita ke Jogja naik pesawat siang kok mbak." jawab Grev tenang. Sebetulnya hati cowok ini rada dag dig dug juga sih, menghadapi anggota keluarga Rei. Dirinya adalah anak tunggal, jadi belum pernah merasakan kehangatan keluarga seramai ini. Apa-apa selalu sendiri, tidak seperti keluarga Rei yang selalu bahu membahu. Kalau pun ada yang membantu, itu bukan lah saudara kandung, melainkan sepupu jauh atau kerabat dari pihak ma dan pa nya. Kadang para karyawan di kantornya lah yang membantu.

"Kalau gitu kita pesta dong ma .." Sanusi dan Sanusa menatap penuh harap ke arah mama mereka, Susi. Susi melirik pak Surya dan bu Surya. Sedangkan yang lain ikut memprovokasi.
"Kok pesta sih sayang?" tanya Susi.
"Di sekolah kalau ada perpisahan sama kakak kelas enam, sekolah pasti ngadain pesta ma, pesta perpisahan katanya." jawab si kembar bebarengan.
"Betul itu tante, di sekolahku juga." sambar Mike ga mau kalah dengan kedua sepupu kembarnya.
"Ya kalau gitu gimana nih, tanya dong sama om Grev dan tante Rei, pesta perpisahan ga?" bang Greg kali ini buka suara. Grev dan Rei berpandang-pandangan penuh arti terus menatap tak berdaya pada ma dan pa Rei, berharap mendapat jawaban disitu. Pesta? Aduh, mereka sama sekali ga membayangkan akan berpesta pora malam ini. Baru saja Grev akan menjawab iya, eh pak Surya malah sudah nyeletuk duluan.
"Ya sudah, kita keluar malam ini, makan-makan ... biar opa yang traktir kalian semua ... hehehe setuju?!" pak Surya menawarkan keselamatan bagi Rei dan Grev.
"Setujuuu!!" dan Rei pun menarik napas lega. Mereka bergegas naik mobil masing-masing, menuju rumah makan terdekat dan berpesta disitu. Keramaian dan kenyamanan sebuah keluarga besar. Senyum bahagia terus terpancar dan tak pernah lepas dari wajah pak Surya dan bu Surya.

Bila mau jujur, Grev lebih merasakan meriahnya acara malam ini dibandingkan dengan pesta pernikahan mereka. Disini ada Mika yang suka nyeletuk dengan candaan khas remaja-nya. Si Miko yang suka digodain Mika dan Mike hingga memerah muka, maklum, abg. Mark yang suka usil sama minuman kakak-kakaknya. Sanusi dan Sanusa yang bila makan pun seperti dikomando, berapa banyak harus mengunyah dan kapan harus menyuapi mulut mereka sendiri, kompak deh. Bento yang memandang kagum pada si kembar dengan harapan akan punya adik kembar juga. Sedangkan si bayi Jihan malah asik tidur di gendongan mama-nya, Dika. Krisna memang cocok menjadi leader dalam setiap percakapan, Krisna, putra sulung yang di didik untuk dapat merangkul semua saudara-saudaranya tanpa harus mengintimidasi yang lain. Demikian pula Rika yang selalu penuh senyum terhadap saudara-saudaranya. Susi dan Dul selalu penuh tawa menghadapi tingkah para yunior. Sedangkan Roy memang sedikit lebih pendiam, namun sayangnya dia terhadap keluarga jangan ditanya lagi. Jangan sampai deh salah satu keponakannya 'dicubit' orang, dia akan maju duluan untuk membela bersama istrinya Hilda, ibarat bodyguard keluarga. Hal tersebut menurun ke putra mereka Bento, si tunggal yang kadang suka se-enaknya. Sedangkan Greg dan Dika manut aja sama para kakak mereka, seperti Rei manut pada mereka.

Keindahan malam itu akhirnya buyar tepat pukul sepuluh. Mika dan saudara-saudaranya mengajukan protes, mereka masih ingin terus melewatkan malam ini bersama para sepupu dan om baru mereka, Grev. Namun toh mereka harus sekolah esok hari, jadi tanpa banyak komentar lagi semuanya berpisah di restoran malam itu. Krisna bersama keluarga besarnya pulang. Susi dan Dul bersama si kembar pun pamit lansung pulang. Termasuk Roy dan Dika bersama preman cilik, Bento. Greg dan Hilda tak berapa lama pun pamit, si kecil Jihan nampaknya harus segera bertemu kasurnya sendiri.

Tinggalah ma & pa Rei, Grev dan Rei sendiri. Menatap mobil tekakhir yang pergi. Rei menatap wajah ma nya yang nampak sedikit letih namun bahagia. Grev masih asik terlibat percakapan dengan pak Surya.
"Rei?" bu Surya mengagetkan Rei. Rei tersenyum penuh arti.
"Ya ma?" jawab Rei. Kapan lagi dia bisa menatap wajah ma nya lagi? Di Jogja dirinya pasti bakalan sibuk sama urusan rumah tangga baru mereka dan yang akan sering ditemuinya disana adalah ma & pa Grev.
"Baik-baik yah nanti di Jogja. Layani suami mu dengan baik, patuh dan sopan dalam berbicara, apalagi sama mertua. Ma Grev baik, pa nya bijaksana. Jadi pandai-pandailah membawa diri." seperti tak ada habisnya petuah yang ingin disampaikan ma pada Rei. Rei mengangguk mantap.
"Iya ma, pasti itu, Rei akan ingat kata-kata ma." jawab Rei lalu menggenggam erat tangan ma nya.
"Anak pintar. Jangan lupa sholat, berdo'a. Hidup barumu baru saja dimulai, masih panjang jalan yang terbentang di depan, titilah semuanya dengan sabar." kata ma nya lagi.
"Iya ma .. " Rei tak kuasa membendung luapan air mata harunya. Seperti ini kah semua perasaan ibu terhadap anak-anaknya yang menikah, yang akan pergi meninggalkan mereka, para orangtua, menuju hidup sendiri? Bergulir satu persatu air mata di pipinya. Apalagi begitu sadar, di Jogja nanti hanya ada dirinya, Grev dan orangtua Grev. Ga ada para keponakan, ga ada para saudara yang selama ini melindunginya. Tapi masih ada banyak sahabat Grev. Hidup Grev nantinya adalah hidupnya jua.
"Rei, jangan menangis dear .. jangan .." tau-tau Grev telah mendekapnya erat, mengambil tisu dan menghapus air mata haru dari pipinya. Pak Surya dan istrinya menatap haru pula. Selanjutnya hanya hening. Pukul 11 mereka akhirnya pulang ke rumah.

Kompleks telah sunyi begitu mereka tiba di rumah. Setelah pamit para orangtuanya, Rei masuk kamar, disusul Grev tak berapa lama. Di kamar mereka menatap kardus-kardus yang menumpuk dan berimpitan di sudut kamar lalu tertawa. Grev mengacak-acak rambut Rei mesra.
"So, siap menghadapi Jogja dear?" Grev memeluk istrinya dan membiarkan detak jantungnya menemani wajah Rei yang terbenam didadanya.
"Harus siap say .. harus ... bobok yuk, ngantuk!" jawab Rei. Grev membimbing sang istri menuju ranjang terus menemaninya tidur. Pikiran Grev melayang-layang. Suami. Itu lah predikatnya sekarang. Mengingat jalinan cinta maya mereka dan semua hal yang terjadi sesudahnya membuat garis bibirnya terangkat dan tersenyum sendiri. Disampingnya helaan nafas Rei mulai teratur. Rei memang letih, mengepak barang-barang, letih berhadapan dengan anggota keluarganya yang suka menggoda termasuk letih menghadapi Rei :P Grev tersenyum kembali. Besok Grev akan pulang ke Jogja, ga sendiri, melainkan ditemani Rei, istrinya. Satu senyuman lagi menghias di wajahnya sebelum pria itu akhirnya jatuh tertidur.

to be continued!!


Thursday, May 13, 2004


Risalah Cinta part.10


Keduanya bergelut dalam indahnya cinta. Memberi dan menerima cinta itu dengan pasti. Gedoran di pintu kamar mengagetkan keduanya. Grev meraih tisu dah menghapus noda lipstick di bibirnya dan di areal bibir Rei, tersenyum dan membuka pintu. Pak Surya dan bu Surya berdiri disana, tatapan kedua orangtua Rei itu mengisyarakan ijin untuk masuk ke dalam kamar, bergabung dengan sepasang pengantin baru.

"Pa dan ma ga mengganggu kan?" tanya bu Surya menggoda. Pipi Rei bersemu merah dan Grev tertawa kecil.
"Ga lah ma .. hehehe." jawab Grev. Pak Surya duduk disamping Rei, membelai sayang rambut anaknya.
"Pa dan ma mau bicara sedikit kepada kalian berdua sebelum resepsi nanti malam. Terutama pada Rei." Rei mendengarkan dengan seksama. Grev duduk bersila di karpet, turut mendengarkan. Ini memang bukan kali pertama pak Surya bicara padanya, namun Grev yakin pasti sesuatu yang penting lah yang akan dibicarakan.

"Rei." pak Surya menatap wajah anaknya.
"Ya pa ..." jawab Rei patuh. Sepatuh anak ayam terhadap induknya.
"Pa mau bicara. Pertama, pa dan ma minta maaf karena selama ini menyembunyikan sosok Grev darimu. Tapi itu bukan suatu kesengajaan. Katakanlah itu adalah sebuah ketidaksengajaan Grev yang mengakibatkan kesengajaan lain yang kami lakukan." Rei mengangguk.
"Jangan meminta maaf pa. Ga ada maaf karena pa dan ma ga salah." Grev tersenyum, ikut puas pada jawaban istrinya.

"Benarkah?" tanya bu Surya seakan ga percaya. Baginya, membohongi putri bungsu mereka selama ini adalah hal berat. Mereka harus hati-hati dalam merencanakan pernikahan ini, was-was, takut Rei mengetahui siapa sosok Bas sebenarnya.
"Benar ma. Awalnya Rei memang kaget, ga nyangka semua akan berakhir seperti ini. Rei memang sedikit kecewa, tapi Rei sadar ma, Rei justru bersyukur pada jalan yang dipilih Allah ini." mata bu Surya nampak berkaca-kaca. Hari ini tugas mereka sebagai orangtua selesai sudah. Melahirkan, membesarkan, mendidik dan menikahkan. Hari ini, putri bungsu mereka telah menikah, kebahagiaan terbesar dalam hidup mereka.

"Baiklah kalau begitu. Pa dan ma lega mendengarnya. Kalau begitu, kita tinggal menunggu acara nanti malam, semoga sukses." ujar pak Surya semangat.
"Iya pa. Tapi Rei harus makan. Dari siang dia belum makan tuh." sambar Grev cepat. Bu Surya tetawa, lepas.
"Ya bagaimana mau makan, kamu itu telah mengganti sepiring nasi." meledaklah tawa dari kamar pengantin tersebut. Tak berapa berselang orangtua Rei pamit, istirahat. Grev mengantar mereka sampai ke pintu dan kembali ke ranjang, dimana istrinya menunggu.
"Pelajarannya mau dimulai atau ditunda dulu dear?" goda Grev dengan senyum jahil. Rei melempari bantal ke tubuh suaminya.
"Nanti malam aja deh pak guru hihihi. Gue mau ganti baju dulu, bobo bentar, sambil nunggu ibu perias dateng." jawab Rei seraya bangkit. Grev hanya bisa memandangi punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar mandi.

Membayangkan sosok Rei yang tengah berganti pakaian membawa Grev pada lamunan yang tak menentu, Rei, gue cinta elu. Grev membiarkan matanya tertutup, membiarkan bola bening itu beristirahat sejenak, membiarkan alunan cinta dilantunkan di dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Membiarkan memorinya meloncat-loncat pada setiap tahap pertemuannya dengan Rei di ruang chat.

Siang itu Grev tanpa sengaja masuk irc, mencoba mencari ketenangan setelah dirinya ditolak mentah-mentah oleh Rei. Grev membiarkan tumpukan map berisi dokumen perjalanan para turis yang belum ditanda tangani menatap kuyu ke arahnya. Biarlah, nanti saja, begitu batin Grev. Coba-coba, iseng, dia join ke channel #Cinta, mengharap keisengannya bisa sedikit mengobati lara hati. Mengapa Rei menolaknya? Mengapa Rei menolak dijodohkan sedangkan bukan rahasia lagi bila gadis itu belum memiliki pasangan, hingga kedua orangtuanya nekat menjodohkannya?

Sebuah nick menggelitik sanubarinya, Rei. Rei kah itu? Di pivi-nya nick itu, dan mereka terlibat dalam obrolan seru. Grev penasaran dan meminta pic Rei. Begitu album foto Rei dibukanya, hatinya seperti dihantam goda berkali-kali. Itu adalah Rei, putri bungsu pak Surya dijodohkan dengannya, yang tempo-tempo hari menolak untuk dijodohkan. How a small world, batin Grev berulang kali. Grev pun menolak membuka jati dirinya lebih jauh lagi, apalagi sampai memperlihatkan fotonya. Biarlah .. kalau memang jodoh, takkan lari gunung dikejar.

Hubungan mereka mengalir seperti air, tanpa hambatan berarti. Rei pun pernah menceritakan sosok Grev padanya, saat itu Grev hanya bisa tertawa sendiri dan berusaha menenangkan hati Rei bila cewek itu mulai menjelek-jelekkan Grev di depan 'Bas'. Grev mulai menyusun rencana, ini lah saatnya untuk mendapatkan cinta gadis itu. Modal nekat, mereka pacaran. Rei gencar mendekati Rei dengan sms dan telepon setiap hari, setiap malam. Grev ingin mematri-kan dirinya kuat-kuat ke dalam hati Rei, meskipun itu dengan sosok 'Bas'. Tanpa menunda lagi, Grev bicara pada orangtuanya, pak Musry dan bu Musry.

Awalnya pak Musry menganggap itu hal yang tidak mungkin. Namun begitu Grev memperlihatkan foto Rei dan memberi tau nomor telepon rumah Rei, pak Musry dan istrinya langsung bersemangat. Mereka menghubungi keluarga pak Surya dan berbicara panjang lebar. Bu Musry malah pertama kali berbicara dengan Rei lewat telepon. Mereka sepakat, biarlah Rei berada diluar garis lingkaran mereka, gadis itu ga perlu tau siapa Bas sebenarnya. Semua rencana pernikahan kemudian disusun dengan matang oleh orangtua Rei dan Grev. Sedangkan Grev ditugaskan untuk terus menemui Rei di ruang chat. Well, kuasa Tuhan, siapa yang sanggup memungkirinya?

Dan hari ini, dirinya sah menjadi suami Rei. Dengan tangis Rei pada awalnya dan senyum manis Rei pada akhirnya, semua orang toh selalu berharap ada senyum di akhir setiap episode kehidupan. Grev mendesah, membuka mata dan melihat sang istri ikutan tidur disampingnya, memeluk dada bidangnya hangat. Inilah cinta kita Rei, batin Grev berkali-kali.

Menjelang sore ibu perias datang, keduanya terbangun dan Grev memaksa Rei untuk mengisi perut. Dia ga mau Rei pingsan ditengah resepsi nanti malam. Usai makan dan mandi, ibu perias mulai mendandani Rei, sedangkan Grev keluar kamar dulu, mondar mandir, ngobrol bersama pak Surya tentang perusahaannya di Jogja dan sesekali mengemil aneka kue yang tersedia. Setelah adzan maghrib, Rei usai didandani, Grev pun mandi dan bersiap-siap. Cantik sekali istrinya dengan balutan kebaya peach yang mewah. Grev sempat menggoda Rei dengan celetukan-celetukan konyolnya sebelum mandi dan bersiap-siap. Keluarga Rei yang lain pun telah rapih jali, siap menuju gedung Bhakti Pemuda.

Yang hadir malam itu sungguh luar biasa banyaknya. Para handai tolan, teman-teman Rei dan Grev, tetangga dan sahabat-sahabat orangtua mereka berdua. Rei yang anggun dan Grev yang tampan, membuat semua mata pasti menatap kagum ke arah pelaminan. Pesta berlangsung meriah. Tamu pun puas dengan suguhan tuan pesta. Menjelang jam 11 malam, para tamu pamit pulang, dan tak lupa foto-foto dulu, hal wajib yang rugi bila terlewatkan begitu saja. Semua seakan-akan berlomba-lomba ingin foto bareng penganten. Apalagi teman-teman dan bawahan Grev yang rela datang jauh-jauh dari Jogja untuk menghadiri pernikahan mereka. Pernikahan yang menurut mereka sedikit ajaib.

Usai acara resepsi pernikahan yang meriah yang dihadiri begitu banyak tamu, yang kemudian pamit satu persatu, Rei dan Grev bersama keluarga pulang ke rumah. Rumah Rei, kamar pengantin mereka telah menanti. Harap-harap cemas, secemas perasaan Rei. Yang bisa menenangkan dirinya saat itu adalah tatapan hangat suaminya, meredakan gejolak jiwa dan amukan perutnya yang seperti dialiri arus listrik dari jantung. Ini malam pengantinnya dan apa yang terjadi berikutnya di kamar pengantin itu adalah bukti cinta, gelombang asmara yang terpaut menjadi satu dari dua hati yang menyatu dan saling cinta.

to be continued!!


Saturday, May 08, 2004


Risalah Cinta part.9


Bas adalah pria yang dicarinya. Nyambung, pengertian dan suka humor. Sosok maya yang memikat hatinya dengan segera. Rei ga mau membuang waktu lagi, lebih baik sekarang daripada tidak sama sekali. Lebih baik mencoba dari pada menerima Grev yang artinya menyerah pada keputusan orangtuanya dan membiarkan dirinya dijadikan bahan tertawaan ego-ego sendiri. Huh, cewek apaan, suami saja dicariin orangtua! Dia ga mau dikata-katain begitu sama para ego yang bersarang di dalam tubuhnya juga.

Rei mulai menyiapkan mentalnya untuk cinta maya ini. Cinta maya yang kemudian menjadi nyata dengan telepon-telepon penuh kasih dari Bas setiap malamnya. Begitu bangganya dia menceritakan Bas pada ma dan pa. Hingga kedua orangtuanya menyerah pada keputusan putri bungsu mereka ini. Rei menyiapkan mentalnya untuk hal terpahit sekalipun, dibohongi. Dibohongi dalam arti, dirinya dipermalukan Bas dengan tidak menepati janji. Namun hubungan para ma kemudian melelehkan semua keraguanya. Apalagi begitu antusiasnya pa menerima keputusannya ini.

Ada sedikit kecurigaan, namun segera ditepisnya semua. Kelancaran persiapan pernikahan mereka dianggapnya sebagai kemudahan yang dianugrahi Allah kepadanya. Hatinya kuat dengan satu keyakinan, apa yang tidak mungkin dilakukan Allah? Menghidupkan orang mati saja bisa, membakar manusia berdosa saja bisa, apalagi menyatukan dua hati? Terserah orang mau bilang apa, bodoh lah, bego lah, cinta maya saja dipercayai setengah mati. Tapi Rei memegang teguh pada keyakinannya, Tuhan ga mungkin menyakiti hatinya.
Bahkan misteriusnya sosok Bas di ruang chat sekalipun ga membuat hatinya ragu untuk melanjutkan langkah menuju gerbang pernikahan. Dirinya harus bisa membuktikan pada ma dan pa, dirinya mampu mencari suami sendiri. Grev, terlupakan dari hidupnya tanpa sisa.

Tapi apa yang terjadi? Hari ini hatinya seperti perahu kayu yang terhempas dengan naasnya ke karang. Seburuk itu kah keadaannya? Tidak, dirinya tetap menikah, tetap menikah dengan seorang Bas yang ber-fisik Grev. Seorang Bas tetap menepati janji, menikah dengannya, memberinya mas kawin seperangkat alat sholat tunai dan membiarkan tangannya diciumi Rei pagi tadi. Kejadian sakral yang terjadi dan diharapkannya sekali seumur hidup. Grev tetap memberinya cinta yang manis, semanis cinta Bas di ruang chat. Grev tetap melemparkan canda yang sama, yang pernah dilontarkan Bas di ruang chat. Grev memanggilnya dengan 'dear' layaknya Bas memanggilnya di ruang chat. Lalu apa yang harus dipermasalahkannya?

Harga diri? Harga diri yang seperti apa? Dirinya ga dibikin malu, dirinya ga disia-sia kan, cintanya dipegang teguh oleh hati Grev. Well, dirinya mungkin marah, kemarahan sesaat begitu melihat jemari Grev-lah yang digenggam pa pagi tadi. Grev lah yang duduk disampingnya padi tadi, menghadap penghulu. Grev lah yang berucap "Saya terima nikahnya Reinata Syafira binti Suryasudjono dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" tegas dan pasti, tanpa perlu mengulang, para saksi men-sah-kan mereka sebagai suami istri dan para undangan berucap "Alhamdulillah."

Ini adalah anugerah yang diberikan Allah SWT padanya. Seharusnya dia turut berucap syukur, bukannya menangis habis-habisan, menguras air mata tanpa henti. Sedikit kecewa karena white lie, memang ada dihatinya, apakah sedikit kecewa itu harus menghancurkan semua impian yang telah menjadi nyata ini? Tidak, Rei ga mau membiarkan kekecewaan bersarang di hatinya dan menjadi duri dalam rumah tangganya kelak. Toh dirinya ga membenci Grev, kekesalannya dulu sebenarnya bukan pada Grev, melainkan pada 'perjodohan' yang diajukan kedua orangtuanya.

So? Terimalah semua ini Rei, batin putihnya bicara. Setelah pergolakan yang begitu hebat terjadi dalam hatinya. Ya, saya terima .. untuk apa membuang sepiring nasi yang telah diberi untuknya? Untuk menunjukan bahwa dirinya gagah, perkasa atau kuat? Toh sepandai-pandainya bangau terbang, jatuhnya ke pelimbahan juga. Semandiri apa pun seorang wanita, takdirnya tetap berada disamping suami juga. Melayani suami, menjadi sahabat dan saudara bagi suaminya. Lalu untuk apa air mata yang dari tadi mengalir? Rei menghapus air matanya sendiri.

Rei menatap sosok Grev di depannya, duduk di meja rias dengan tangan sibuk memencet tombol hp. Rei tersenyum, lihatlah, betapa tampannya suamimu! Rei tersenyum lagi begitu mengingat koteka, guru dan canda mereka di ruang chat. Inilah masa depannya dimulai untuk meraih masa depan volume kedua bersama Grev, suaminya. Rei kembali tersenyum. Lihatlah Rei, betapa gentle nya dia, mengakui kebohongan yang dikatakannya sebagai whitelie dan menawarkan padamu untuk memberinya pelajaran dengan katakan saja apa maumu. Lihatlah betapa bijaksananya dia sebagai seorang suami, berusaha menenangkan perasaan istrinya yang kacau. Lihatlah Rei, dia begitu manis, semanis sosok Bas di ruang maya. Karena sekali lagi, Grev adalah Bas, dan Bas adalah Grev.

Grev sontak menoleh pada istrinya, hatinya lega begitu melihat senyum disana. Bukan senyum yang dipaksa atau terpaksa. Itu senyum seorang Rei, seperti senyum manis yang menghiasi semua pic Rei yang dilihatnya dulu. Semanis cinta yang bersemi di dalam hatinya. Grev seolah mendapat sinar baru di wajah itu, wajah yang dari tadi dipenuhi air mata. Bila Rei bisa berpikir dan merenung dalam kesendiriannya, itu bagus, karena setelah itu ada senyum yang menyambut tatapan matanya. Grev kembali memencet tombol hpnya, mendial sebuah nomor dan ...

"Hp gue .. mana ... itu ringtone hp gue .." Grev melempari hp yang bergetar di dalam laci meja rias ke arah Rei. Rei menyambutnya dan melihat nama seseorang yang memanggil di hp. "husband". Rei tertawa, akhirnya dia tertawa juga. Bola mata Grev menuntutnya untuk menjawab panggilan itu. Rei menggeleng, seperti bidadari yang menolak diajak tinggal di bumi. Grev terus menuntut dan Rei menyerah.
Mereka saling menatap dan berbicara di hp.
"Dear, miss you .." ujar Grev.
"Miss you too Bas .. oh .. Grev hehehe" Rei tertawa.
"Do we have a deal?" tanya Grev.
"Yup!!" jawab Rei pasti. Mereka melempar hp masing-masing dan tertawa bebas di kamar pengantin bernuansa biru muda dengan penuh cinta.

Grev menghampiri ranjang, duduk disamping Rei, mengenggam jemari tangan Rei hangat lalu meraih kepala Rei ke dalam pelukannya.
"Dear, ready for to night?" tanya Grev lembut, mengecup kening istrinya.
"Hah? Kan guru belum ngajarin." jawab Rei malu-malu.
"Hwahahaha, maksut gue, siap buat resepsi kita nanti malam?" Rei semakin tersipu, Grev selalu membuatnya tersipu dengan kata-katanya.
"Hmm siap dong ..." jawab Rei.
"Ah, ga siap ah ... kalau mau siap, sekarang makan siang yah, kan tadi dear belum makan? Apa ga lapar?" Rei merasakan rintihan perutnya setelah Grev bilang begitu. Betapa perhatiannya Grev padanya. Rei semakin menenggelamkan dirinya ke dalam pelukan Grev, merasakan setiap detak jantung suaminya, mententramkan hatinya.

"Gue ambilin yah makannya?" tawar Grev. Rei menolak.
"Nanti saja sekalian makannya pas mau didandani sama ibu perias Grev." tolak Rei. Sejujurnya dia masih ingin terus merasakan detak jantung suaminya. Masih ingin terus merasakan dekapan hangat itu, tanpa akhir. Seperti harapannya pada cinta mereka, cinta tanpa akhir, tanpa batas, Insya Allah.
Grev menatap wajah istrinya, mendekati bibirnya ke bibir mungil itu dan menyapunya dengan ciuman lembut. Sesutu yang menggelora, hasrat yang tertahan akhirnya tertumpah saat itu juga. "Happy Birthday Grev." ujar Rei disela beradunya dua bibir dalam cinta. One french kiss .. not one, more french kiss and .. it's too long for a french kiss!!

to be continued!!


Saturday, May 01, 2004


Risalah Cinta part.8


Hari telah beranjak siang, para undangan acara akad nikah telah pulang satu persatu, yang tersisa adalah dua keluarga yang berbahagia dan Rei yang tengah sendiri di kamar, masih menangis sendiri. Grev masih di luar, bercanda dan bercerita bersama para keluarga. Kebahagiaan besar terpancar dari mata cowok cool itu. Hari ini dirinya telah menjadi suami Rei, gadis yang pernah menolaknya untuk dijodohkan, malah secara ga sengaja bertemu di ruang chat dan menikah.

Kerabat Rei yang lain mulai membereskan rumah dan semua perkakas. Anak buah Suryasudjono, pa Rei, yang lebih akrab dipanggil pak Surya, mulai menaikkan kursi-kursi, tenda dan salon ke atas pick-up untuk dipulangkan. Nampak bu Surya dan bu Musry-ma Grev, duduk berdua di ruang dalam. Mereka terlibat percakapan yang serius namun diselingi dengan tawa bahagia. Pak Musry sendiri asik bercengkrama dengan para keluarga dan pak Surya. Semuanya membicarakan pernikahan yang 'ajaib' menurut mereka. Seperti kata pepatah, bila sudah jodoh, takkan lari gunung dikejar. Rupanya hal itu lah yang terjadi atas diri Rei dan Grev.

Pukul 1 semua keluarga dijamu makan siang di rumah Rei sebelum keluarga dari pihak Grev pulang ke rumah masing-masing. Rei memilih tetap di kamar, menolak makan siang bersama dengan alasan sakit kepala, ma dan pa masing-masing memaklumi, makanya mereka mendiamkan saja. Usai makan siang, keluarga Grev, termasuk pak Musry dan istrinya pamit pulang, nanti malam mereka bertemu lagi di gedung Bhakti Pemuda, tempat resepsi pernikahan berlangsung.

Rumah Rei mulai sepi, beberapa keluarga malah telah menuju gedung Bhakti Pemuda untuk menyelesaikan perlengkapan yang belum beres disana. Grev pamit pada kedua mertuanya untuk menemui Rei, istrinya, di kamar pengantin. Kamar pengantin bernuansa biru yang cantik menyambut Grev dengan senyum. Tapi tidak istrinya. Rei menangis, berbaring memeluk guling di ranjang. Grev mengunci pintu dan mendekati istrinya. Rei menyadari kehadiran Grev, namun dirinya ga ingin berbalik, ga ingin melihat wajah suaminya, wajah seorang Grev, dia ingin melihat wajah seorang Bas, hal yang tidak mungkin terjadi.

"Dear?" Grev duduk disamping sosok Rei. Membelai lembut rambut Rei yang berantakan.
"Jangan dekati gue! Jangan panggil gue dengan sebutan itu!" Rei menampik jemari Grev lalu kembali menangis.
"Jangan menangis, itu saja yang ingin gue katakan dear. Jangan menyesali apa yang sudah terjadi. Elu sendiri kan pernah bilang, akan menerima gue di hari bahagia ini kan?" Rei berbalik, duduk memeluk bantal menatap wajah cool didepannya. Wajah seorang Grev, bukan Bas. Bas! I need you now! Jerit sisi batin Rei. Sisi batin yang terus mengharapkan sosok maya yang dicintainya. Semua yang terjadi hari ini adalah kejadian yang sama sekali jauh dari bayangannya sebelum ini. Jauh dari angan-angannya sebelum ini.

"Grev, teganya elu menipu gue, memanipulasi gue! Teganya elu dan keluarga gue membohongi gue. Elu ga sejujur Bas! Elu ternyata pembohong besar... gue kecewa Grev, amat sangat." Grev tetap tenang, meraih tisu di meja dan mengusap air mata yang terus membanjiri pipi istrinya, membuyarkan riasan yang ada disitu.
"Gue akui, gue memang berbohong untuk diri gue. Tapi gue ga bohong untuk kejujuran hati dan cinta gue ke elu." pelan, hati-hati dan bijaksana memilih kata-kata, Grev ga mau Rei histeris, marah-marah dan sebagainya.

"Ada baiknya kita bicara sekarang, sebelum resepsi nanti malam." Rei menggeleng kuat. Sekuat hatinya berusaha menolak kehadiran Grev.
"Ga mau, gue ga akan membicarakan apa pun! Gue barangkali masih menghargai pa dan ma dengan duduk di pelaminan nanti malam, tapi untuk bicara dengan elu, itu ga akan! Gue benci elu Grev, amat!" tatapan mata Rei menusuk kalbu Grev. Cowok itu mendesah. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Yang diinginkannya adalah bicara baik-baik. Untuk keluar dari lingkaran ini jelas sudah ga mungkin lagi. Mereka telah sah terikat sebagai suami istri. Lalu? Lagi-lagi Grev mendesah, ga tau harus bagaimana menghadapi sikap keras kepala Rei. Wanita, mengapa mereka ga semudah dan ga selapang dada seperti pria dalam menghadapi dan menerima situasi seperti ini? Wanita memang selalu begitu, ego atau harga diri?

"Bicaralah kalau dear ingin bicara, apa saja, maki saja gue bila itu bisa meringankan beban di hati." Grev membenahi posisi duduknya, bersandar pada kepala ranjang, menatap lembut ke arah Rei yang kini tertunduk menghitung berapa banyak ornamen pada batiknya.
"Gue ditipu." ujar Rei.
"Bukan ditipu, tapi ini jalan yang diberi Allah buat kita." jawab Grev.
"Gue dimanipulasi." ujar Rei lagi.
"Bukan dimanipulasi, tapi inilah yang akan terjadi pada kita, tetap menikah dengan cara apa pun. Karena jodoh, mati dan rejeki di tangan Tuhan." jawab Grev penuh sabar.
"Pantas, seribu pantas menjawab semua ini Grev." Grev tersenyum. Berusaha tetap bijak menyikapi Rei.
"Pantas elu ga mau memperlihatkan pic elu, setelah elu melihat semua pic gue." Grev ingin tertawa, tapi keinginannya itu ditahan. Jangan mengundang singa yang telah sedikit redam emosinya untuk mengamuk.

"Pantas elu ga mau menyebutkan nama asli elu." suara Rei semakin lemah, datar dan normal. Ga sehisteris tadi.
"Pantas elu menutup diri begitu rapat sehingga yang gue tau dari elu hanya satu, Bas." Bas lagi, begitu besar pesona Bas bagi Rei? Grev mengakui, dirinya sebagai Bas memang lebih menyenangkan. More love, more kisses. Hmm.
"Pantas, begitu ma menerima epon dari Jogja, sikap ma lebih antusias." itu pasti Rei, batin Grev.
"Pantas, keluarga gue seperti menyembunyikan sesuatu dari gue." Rei masih terus mengoceh dengan pantas dan pantas, semua pantas yang masih diingat memorinya.
"Pantas gue ga pernah melihat undangan pernikahan gue Grev .. dan elu berusaha menenangkan diri gue saat itu." kali ini air mata kembali mengalir di pipi Rei.

"Dear ... " Grev meraih tisu kembali, menghapus air mata itu.
"Pantas elu selalu menghindar bila gue ngomong soal Grev. Apalagi saat gue secara ga sengaja mendengar pembicaraan papa di telepon sepintas lalu menyebut nama elu." Grev ingin tertawa lagi. Saat itu, dirinya lah yang tengah berbicara dengan pak Surya.
"Dear, seribu pantas memang menjawab semua ini. Maafkan gue, keluarga gue dan keluarga elu, bila semua ini membuat hati elu sakit." Grev membelai rambut Rei lembut. Rei membiarkannya saja, membiarkan jemari Grev menelusuri setiap helai rambutnya yang kaku pengaruh hairspray.

"Dear, sekarang katakan, apa yang harus gue lakukan agar hati elu bisa lebih nyaman? Just tell it and I will do it for you." Grev meraih pundak Rei, membawanya pada hadapannya dan menatap wajah manis itu lekat-lekat.
"Just tell it .. come on. Biar gue juga lega. Kecuali satu dear, jangan pernah bilang cerai di depan gue, karena gue mencintai elu amat sangat." Rei menatap ragu-ragu pada Grev.
"Gue ga tau." ujar Rei.
"Harus tau. Sebelum gue menjadi guru yang baik ..." Grev mencoba memancing tawa Rei, tawa yang renyah seperti yang sering didengarnya di telepon. Wajah Rei bersemu. Nah .. kena sekarang, batin Grev lagi.

"Gue ga tau, otak gue blank!" Grev tersenyum bijak.
"Apa elu mau gue lari-lari keliling kampung pake koteka dan ditertawakan semua orang?" kali ini kata-kata Grev betul-betul mengena, Rei menaikkan alisnya dan semburat senyum terhias disana.
"Well dear, sosok gue, keadaan gue memang bukan Bas, bukan Bas yang elu cintai di ruang chat. Tapi hati gue adalah hati Bas, cinta gue ke elu adalah cinta Bas ke elu. Pikiran gue adalah pikiran Bas. Kata-kata gue tetap kata-kata Bas juga. Fisik gue yang elu benci, bukan 'isi' gue kan?" ucapan Grev yang cukup bijak membuat Rei terperangah.

"Betul, tapi gue tetap korban penipuan .. manipulasi .." Rei mencoba membela diri.
"Penipuan ini dibolehkan kok, seperti white lie, atau apa lah kata orang. Manipulasi ini .... hhhmm apa yah .. oh .. manipulasi cinta!" Rei kembali terperangah. Manipulasi cinta? Ugh, pintar sekali orang ini bicara, persis seperti Bas. Dia memang Bas. Grev adalah Bas. Bas adalah Grev. Rei mendesah. Dirinya sekarang adalah istri sah Grev, istri sah Bas.
"Grev, gue pengen sendiri dulu sekarang ..." celetuk Rei kemudian.
"Okay dear, gue duduk di meja rias dan elu disini sendiri." belum sempat Rei mengajukan protes, Grev bangkit menuju meja rias, mengeluarkan hp dan mulai memencet tombol hp. Rei merileks-kan duduknya, sandaran pada kepala ranjang, menatap sosok Grev di hadapannya. Sebenarnya hatinya terlalu letih untuk diajak merasakan, otaknya kelewat capek untuk diajak berpikir dan merenung. Tapi Rei harus.

Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali terus maju jalan. Ga bisa berhenti apalagi mundur. Komitmennya untuk menikahi pria dari dunia maya sungguh-sungguh harus dilaksanakannya. Hal tersebut menjadi obsesinya setelah pa mempertemukannya dengan Grev. Hati Rei terpikat, Grev adalah sosok cowok yang disukai semua wanita. Gentle dan macho. Grev mapan dan bertanggung jawab. Tampang oke, body hayud, duit bejibun. Namun ego Rei ga mau terima begitu saja. Untuk apa menerima Grev? Untuk memuaskan keinginan ma dan pa? Rei masih mampu mencari suami sendiri, ga perlu bantuan orangtua untuk mencarikan, apalagi menjodohkannya. Rei menolak Grev dan Grev pun berlalu dari satu episode hidupnya.

Dari situ lah Rei lebih banyak menghabiskan waktunya di dunia maya. Warnet adalah tujuannya setiap hari. Blak-blakan mencari suami di irc pada setiap nick yang me-message-nya. Bukannya menjawab baik-baik, nick-nick itu meninggalkannya begitu saja dan mentertawainya habis-habisan. Rei ga mau menyerah. Apa sih yang ga mungkin dari dunia maya? Suami pun mungkin! Sampai kemudian dia di pivi nick = Bas. Jalan baru terbuka di depannya. Apalagi begitu Bas melihat semua picnya di album foto. Semua begitu indah bagi Rei meskipun seorang Bas hanya ada dalam angan-angan, namun hatinya seakan begitu dekat, amat dekat.

to be continued!!


tuteh pharmantara
living in Ende - Flores
Email Me



Name :
Web URL :
Message :