Tuesday, June 29, 2004


Risalah Cinta part.16


Rei tersadar mendengar dering bel pintu rumah. Dimatikannya komputer cepat-cepat. Telah banyak surat dari sahabatnya yang telah dibalas. Lekas dia membuka pintu dan didapatinya ma Grev berdiri dengan senyum mengembang.
"Sayang .. anak sayang ... Grev dimana?" ma segera masuk ke dalam, diikuti Sulis dan Pardi.
"Mas Grev di kantor ma." jawab Rei seraya mengikuti langkah mertuanya ke dapur. Dapur mungil yang selalu pas rasanya dijadikan tempat ngobrol.
"Dasar ga tau diri, istri hamil muda kok ditinggal. Kan ada si Bimo yang bisa menggantikan dia disana." cerocos ma.
"Aduh ma, kata mas, urusan nya mendesak sekali dan harus mas sendiri yang menangani." kata Rei. Ma Grev duduk dan memerintahkan Sulis memasak dan Pardi memberesi halaman belakang.
"Kamu pasti belum makan kan? Biar Sulis aja yang masak, kasihan kamu. Mulai hari ini Sulis dan Pardi akan tinggal disini. Ga pa pa kan? Kamu sendiri harus banyak istirahat, ingat kandungamu masih amat muda .." Rei, yang sesungguhnya tak ingin dibantu, terpaksa setuju dengan ide mertuanya. Lagian Sulis dan Pardi telah ada di sini, mana mungkin disuruh pulang kembali ke rumah orangtua Grev?

Siang itu Rei makan bersama ma Grev. Naluri seorang ibu mertua bila mantunya hamil, banyak ngomong, banyak nasehat dan banyak anjuran. Rei mendengarkan saja sambil sekali-kali tertawa. Ma Grev memang agak lucu kalau bicara, rada blak-blakan. Masih diingatnya kali pertama mereka berdua bicara lewat telepon, merencanakan pernikahan mendadak dia dan Grev. Setelah makan siang, Sulis dan Pardi diajak ke kamar mereka masing-masing. Dua kamar dengan ukuran normal dekat dapur. Pardi langsung mengeluarkan buku-bukunya, segera bersiap untuk sekolah dan Sulis membereskan pakaiannya ke lemari. Ma Grev sendiri langsung pamit pulang, pa Grev sebentar lagi pulang kantor.

Pardi pamit ke sekolah, sekolah siang. Rei memberinya uang jajan dan berpesan untuk hati-hati ke sekolah. Sedangkan Sulis membereskan dapur, mengenal lebih dekat lagi dapur 'baru'nya. Rei duduk di meja dapur yang telah bersih dan mencoba mengajak Sulis bicara.
"Sulis sudah lama bekerja sebagai pembantu?" tanya Rei ramah. Sulis tersenyum dan mengangguk.
"Senang?" tanya Rei lagi.
"Senang bu." jawab Sulis sopan.
"Aduh, jangan panggil ibu deh. Biasanya manggil mas Grev apa?" tanya Rei lagi.
"Mas Grev. Mas. Sama kayak Pardi bu." jawab Sulis, berdiri mematung.
"Kalau begitu, jangan panggil ibu yah, panggil mbak Rei aja, atau mbak." kata Rei. Sulis mengangguk. Dalam hati Rei membandingkan Sulis dengan Manda juga Ratna, frontofficer di kantor Grev. Sulis lebih menang dalam urusan wajah, kelihatannya pintar dan punya kemauan untuk maju.

"Sekarang istirahat saja Lis. Mbak ke kamar dulu yah." kata Rei. Sulis mengangguk setuju. Ditinggalkannya gadis manis itu di dapur sendirian. Sulis memandang punggung Rei yang menghilang ke dalam. Dia terduduk lesu di kursi. Ini rumah Grev, rumah anak majikannya yang telah mencuri semua hati dan cintanya. Grev yang tampan dan ramah padanya. Grev penuh perhatian padanya, perhatian seorang anak majikan kepada pembantu tentu saja. Namun Sulis, hatinya, telah mengartikan lain untuk semua perhatian Grev yang berlebih padanya. Sulis mendengus ... kesal kah dia pada pernikahan Grev? Rei telah hamil, Grev pasti lebih lagi akan menyayangi istrinya. Sulis menggelengkan kepalanya kuat-kuat.

Mencoba menghilangkan ide-ide buruk di kepalanya. Cinta kadang membutakan, tapi gadis itu tak ingin membutakan hatinya untuk cinta itu sendiri. Cinta itu indah, tapi apa artinya keindahan itu bila yang dicintai ternyata telah beristri dan mencintai istrinya sendiri? Sulis salah telah bermain dalam bayang-bayangnya sendiri, menjadi kekasih Grev. Tingkat kehidupan sosial mereka pun berbeda, dirinya hanya seorang pembantu! Ditinggalkannya dapur itu dan kembali ke kamarnya sendiri. Tidur siang rasanya perlu agar pikiran-pikiran buruk sirna meskipun tidak seratus persen hilangnya. Diingatnya satu foto Grev yang tersimpan rapi di tumpukan paling bawah pakaiannya, terselip dalam sebuah diary, tempat dia berkeluh kesah.

Menjelang malam Grev pulang. Rei telah menanti dengan senyum sayang. Tak berapa lama Pardi pun pulang. Usai mandi dan berganti pakaian, Grev bergabung dengan Rei, Sulis dan Pardi di dapur. Dapur yang lebih dianggap sebagai ruang makan ketimbang ruang makan di rumah itu sendiri.
"Nah Sulis, Pardi, kalian berdua baik-baiklah di sini, temani mbak Rei kalian ini yah. Bantu sebisanya, apalagi Pardi, jangan sampai sekolahmu keteteran, nanti dimarahi bapak loh." kata Grev sambil menunggu piringnya di isi nasi dan lauk oleh Rei.
"Iya, anggap saja rumah sendiri, jangan sungkan sama kami. Sekarang ayo makan. Disini kalian makan bersama kami, ga boleh makan nunggu kita selesai makan." tambah Rei. Pardi tersenyum malu dan mulai menyendoki nasi, demikian pula Sulis. Sesekali Sulis melirik Grev yang asik mengunyah. Hatinya miris melihat kemesraan sepasang suami istri baru itu.

Malam telah merambat ... semakin tua. Grev dan Rei menonton tivi di ruang keluarga, Sulis dan Pardi memilih kembali ke kamar masing-masing, sungkan rasanya bergabung dengan kemesraan majikan mereka.
"Mas, bagaimana Bimo?" tanya Rei, teringat telepon suaminya siang tadi soal pengunduran diri Bimo.
"Kompleks masalahnya. Kamu tau Lia kan?" tanya Grev, mengingatkan.
"Tau, inget-inget lupa hehehe." jawab Rei asal. Bimo tertawa.
"Lia hamil, Bimo yang menghamili. Bimo ga cinta Lia dan berniat lari, seorang bule Jepang mengajak Bimo ke sono dan Bimo rasa-rasanya berniat pergi. Alih-alih dia minta elu menggantikan dirinya di kantor." terang Grev, singkat dan jelas.
"Apa?! Lia hamil?! Gadis muda itu hamil? Teganya Bimo ingin lari dari tanggung jawab mas. Lagian kenapa dia mesti berpikir Rei yang harus menggantikan posisinya di kantor? Gendeng." komentar Rei.
"Hhhh... tadi siang gue udah bicara panjang lebar sama Bimo. Semoga tiga belas persen omongan gue bisa masuk ke otaknya dan dia bisa berubah. Bimo, susah sekali menyelami hatinya biarpun kami sudah sekian lama tahun bersahabat dear .." Rei mengangguk.
"Yang penting Bimo ga lari dari tanggung jawab mas, itu saja." Grev mengiyakan.

Dering telepon mengagetkan mereka. Grev bangkit dan meraih telepon di dekat dapur. Rei mendengar suara tawa Grev.
"Dear, bang Krisna dan mbak Rika!" tereak Grev. Rei segera bangkit dan menerima gagang telepon dari Grev dan duduk di kursi dekat situ.
"Abang, pasti denger kabar dari Mika kan?" sambar Rei cepat. Grev duduk disampingnya, setia menunggui.
"Iya, selamat ya dek." ujar Krisna dari seberang.
"Makasih bang."
"Akhirnya akan lahir cucu 'baru' untuk keluarga Suryasudjono. Hehehe." goda Krisna yang langsung terdengar suara Rika.
"Reiii selamat yah, mbak ikut bahagia. Mika tadi malah merengek minta ke Jogja, mengunjungi kamu." kata Rika, istri Krisna.
"Wah, bagus itu, boleh boleh, Rei tunggu ya mbak." jawab Rei semangat.
"Tapi si Miko juga pengen ikut dek, lihat saja nanti, kita sesuaikan sama jadwal liburan mereka, liburan kenaikan kelas biasanya panjang waktunya, sekalian mbak juga pengen ke Jogja." ujar Rika lagi.
"Aduh, lebih bagus lagi kalau mbak juga ikut kesini. Pokoknya kasih kabar yah kalau mau ke sini." kata Rei.
"Oke. Ya udah, salam buat suamimu ya dek. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam." Rei menutup telepon. Baru saja dia mau bicara pada Grev, mendakak telepon berdering lagi.

"Assalamu'alaikum." Rei memberi salam.
"Hei dek!" suara Greg disana. Abang bungsunya menelepon.
"Abang Greg!" seru Rei. Lama tak mendengar suara Greg.
"Selamat selamat!! Nih mbak Dika pengen bicara." lalu terdengar suara Dika, istri Greg dari seberang.
"Rei, selamat ya, banyak istirahat, jaga baik-baik kanduganmu." nasihat Dika.
"Iya mbak, pasti. Cium Jihan buat Rei ya." uar Rei, Jihan bayi mungil mereka, yang kerap kali menjadi subyek cubitan Rei. Gemas sama pipi montoknya.
"Iya iya, eh salam dari mbak Susi sama bang Dul, juga mas Roy dan mbak Hilda, selamat berjuang menjadi calon ibu katanya. Hehehe." Rei tertawa. Kakak-kakaknya selalu penuh perhatian.
"Oke mbak, pasti itu. Makasih ya mbak. Salam buat mereka semua, buat si kembar Sanusi dan Sanusa, juga buat si bandel Bento." Grev tertawa, membayangkan si kembar yang kompak dan Bento yang dianggapnya preman cilik.
Telepon ditutup. Rei menarik napas lega. Grev menggandeng lengan istrinya kembali ke kamar setelah mematikan televisi.

"Heboh yah." kata Grev di balik selimut, tangannya memeluk tubuh istrinya.
"Iya, selalu begitu hehehe. Si Mika pengen ke sini mas. Trus Miko juga, akhirnya sama mbak Rika diijinkan, cuman nunggu waktu libur mereka, biar sekalian mbak Rika ikut ke sini." kata Rei.
"Wah bagus dong. Pokoknya mereka nanti kabari kita kan?" tanya Grev. Rei mengangguk.
"Iya, nanti kalau mau kesini, mereka kabari kita dulu." jawab Rei. Grev mengecup kening istrinya lembut .. french kiss ...

Mereka bercinta lagi. Dan yang dirasakan Rei adalah, pusing dan mual itu mulai berkurang. Dia bisa melayani hasrat suaminya tanpa beban dan terbebas dari rasa takut akibat tak mampu melayani suami. Malam itu mereka kembali bercinta, lebih halus, lebih berperasaan, mengingat Rei tak sendiri lagi, ada 'dia' di dalam rahimnya. Hasrat Rei dibawa Grev jauh melambung ke angkasa dan dihempaskan dengan sejuta kenikmatan tiada tara. Mereka tertidur pulas. Tak sepulas Sulis, Sulis yang masih terus memikirkan Grev, bermain nakal dengan angannya sendiri.

to be continued!!


Friday, June 18, 2004


Risalah Cinta part.15


Sementara itu, apa yang terjadi di kantor Grev justru sebaliknya. Kebahagiaan calon ayah itu terusik dengan pengunduran diri sahabatnya, Bimo.
"Apa??" Grev membanting map di mejanya. Bimo duduk dengan tampang amburadul, semalam selepas berpesta bersama salah satu bule Jepang, cowok macho itu langsung ke kantor, belum sempat mandi malahan. Bimo tidur di kantor dan segera menelpon Grev.
"Gue berhenti Grev. Jelas kan disitu?!" ujar Bimo. Grev menatap wajah sahabatnya dalam-dalam.
"Come on bro, bicara yang bener, elu itu sahabat gue, apa gajinya kurang? Kasih tau dong bro .." Bimo menggeleng lesu.

"Gue bosan Grev, itu saja. Gue mau ke Jepang." jawaban Bimo bak halilintar menghantam kuping Grev. Jepang?
"Gara-gara bule yang semalam? Gue bilang juga apa, jangan terlalu banyak bergaul sama mereka, boleh sih, sebagai tuan rumah kita menghormati mereka dengan menghadiri pesta-pesta mereka, tapi batasi diri bro." nasihat Grev.
"Pikirkan lagi baik-baik. Itu saja." kata Grev lagi. Bimo menarik napas panjang dan keluar dari kantor Grev menuju kantornya sendiri. Mampus!!

Bimo sempat melirik ke deretan meja yang dipenuhi kepala-kepala serius yang sedang bekerja. Kantor ini adalah tempat dia mencari nafkah bertahun-tahun. Tempat dimana dia ditarik Grev dari lembah hitam, biar bisa punya duit dan bisa merencanakan hidup yang lebih baik. Insaf, 30%, bergelut dengan dunia malam dan hura-hura, 70%. Berkurang 30%, membantunya dan keluarganya. Ayah dan ibunya sering dibantu pula olehnya untuk urusan finansial. Tapi sekarang Grev telah menikah, toh, istrinya lebih pantas menduduki jabatan sebagai wakil direktur. Seperti apa tampang real istri Grev sendiri pun Bimo belum tau, dirinya terlalu banyak menghabiskan waktu menemani malam-malam panjang para bule. Dia sendiri mengakui, menjadi guide malam hari bagi para bule tersebut.

Apa yang membuatnya bertekat ingin keluar? Oh ya, ajakan bule Jepang semalam. Semalam yang penuh hasrat. Himiko, cewek Jepang, kaya raya, mengajaknya ke negeri sakura, menikmati hidup foya-foya di sana, menghabiskan uang orangtua Himiko. Tepat dan amat kebetulan. Bimo, sebetulnya ingin lari dari tanggung jawab. Well, Lia memang manis, karyawan baru yang masih muda belia. Lia, baru tamat smu dan langsung bekerja di sini. Begitu mudah dipikat dan diajak tidur. Tapi dia sendiri ga mencintai Lia. Terlalu muda untuk dirinya yang sesungguhnya butuh wanita dewasa, bukan yang masih suka bermanja-manja seperti Lia. Well, masalah sesungguhnya yang dihadapi Bimo lebih kompleks. Merasa tersingkir dengan kehadiran istri Grev, yang belum tentu mau menduduki posisi wakil direktur, menghindari Lia dan menyenangkan hatinya dengan ikut Himiko ke Jepang.

Bimo menghempaskan tubuhnya di kursi, penat sekali rasanya, dia sendiri belum mandi sejak semalam, enggan. Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.
"Masuk!" seraut wajah manis, Lia, muncul di pintu. Lia menutup pintu di belakangnya dan menghampiri meja Bimo.
"Pak ... orangtua saya telah tau .." hanya itu yang diucapkan Lia dan langit Bimo terasa runtuh!
"Apa?! Gue kan sudah bilang, gugurkan saja!!" Lia mulai menangis. Bimo terdiam, membiarkan Lia menangis.
"Ga bisa pak .. saya saya .. saya ..." Lia terbata.
"Kamu kan bisa main gila sama Doni, paksa dia menikahi elu! Mulai detik ini saya ga ada urusan sama elu ... keluar ..." Lia tercekat. Bodohnya dirinya! Bodoh!! Mengapa dulu ga mau diajak pacaran sama Doni? Mengapa justru menganggap Doni seperti angin lalu dan menanggapi serius omongan Bimo? Lia keluar ruangan dengan sejuta perasaan hampa. Teganya!

Emmi sempat melihat sekilas Lia yang menghilang ke kamar mandi. Disikutnya Keke.
"Say, Lia .. nangis .." Keke bingung, ga melihat sosok Lia.
"Udah ke kamar mandi say .." ujar Emmi lagi. Keke mengangkat bahu cuek. Si tomboy ini mengedipkan sebelah matanya ke Emmi dan kembali ke layar monitornya, mengatur perjalanan para bule. Emmi dan Keke, pasangan yang 'pas'. Desas desus yang terdengar adalah, mereka pasangan lesbian. Di kantor sikap mereka cenderung biasa-biasa saja, namun di luar jam kerja, kemesraan mereka ibarat sepasang kekasih yang mabuk asmara. Yanus, Doni dan Sarah tak memperhatikan sekeliling, sibuk sama kerjaan masing-masing. Alunan lembut yang disetel Geyah, Greatest Love Of All, berkumandang di ruangan kerja tersebut.

Grev masih tak habis pikir pada keputusan Bimo. Mengundurkan diri? Gila bener dia. Dia itu satu-satunya anak dari orangtuanya, yang notabene menjadi tumpuan harapan kedua orangtuanya. Bodoh sekali Bimo, batin Grev. Sesaat hatinya mulai dingin, Grev menelepon istrinya di rumah.
"Dear .." Rei tertawa mendengar suara suaminya.
"Ya .. eh, kompinya gue pakek nih mas .. gpp kan?" kata Rei sebelum Grev sempat bicara.
"Ga pa pa .. pakek aja. Udah makan?" tanya Grev. Lega mendengar suara ceria istrinya.
"Belum mas. Mas sendiri makan di rumah atau di kantor?" tanya Rei perhatian.
"Kayaknya di kantor deh. Kacau semua. Masa Bimo mau mengundurkan diri sih?" ujar Grev. Mengingat pengunduran diri Bimo membuat jiwanya kembali panas.
"Hah? Aduh mas, jangan dong, dia kan sahabat mas juga. Bujuk lah dia, lagian Rei juga belum ketemu dia .." Grev tertawa hambar.
"Iya, nanti gue kenalin. Sekarang gue kerja dulu, baik-baik di rumah yah dear. Jangan lupa makan. Ingat calon bayinya." pesan Grev. Rei mengiyakan dan menutup telpon. Grev kembali pada Bimo dan masalahnya.

Dia keluar ruangan terus menuju ruangan Bimo. Lia telah kembali ke layar monitornya dengan mata bengkak dan tampang lesu. Terpukul sekali batinnya mendengar kata-kata Bimo dan usirannya ... 'keluar'. Bimo kaget melihat Grev muncul dari balik pintu, dikiranya Lia akan kembali.
"Hei .. gimana .." Grev duduk di hadapan Bimo, menatap wajah kuyu sahabatnya itu. Sahabat yang selama ini senantiasa menemani kesendiriannya sebelum menikahi Rei.
"Kacau .. gue kacau!!" Bimo agak kasar. Grev masih terus memandanginya.
"Ada apa? Hm gini aja, siang ini kita keluar lunch bareng, oke? Gue ingin elu terbuka bro, jangan ada yang disembunyikan, kacau nya seorang Bimo bukan hanya gara-gara masalah bule Jepang kan? Share with me .. as we did, oke? Gue tunggu siang nanti." Grev membiarkan Bimo dengan pikiran kusutnya. Semoga nanti Bimo mau terbuka padanya. Dia akan berusaha agar Bimo jangan sampai hengkang dari kantornya. Bagaimanapun, selama ini Bimo telah banyak berjasa menggantikan dirinya di posisi yang sulit baginya, seperti menemani bule di malam hari dan lain-lainnya. Bimo adalah otak keduanya setelah otaknya sendiri. Grev kembali ke ruang kerjanya dan mulai memeriksa laporan perjalanan dari karyawan.

Siang yang panas di rumah makan bergaya eropa. Bimo dan Grev, dua sahabat, duduk berhadap-hadapan, saling menilai, saling menatap.
"Well, gue siap jadi pendengar setia." kata Grev memecah kesunyian diantara mereka sembari meng-off kan hp nya sendiri. Biar Bimo lebih yakin dan percaya.
"Oke .. entah dari mana gue harus memulai." jawab Bimo.
"Mulai saja dari diri elu sendiri."
"Gue kacau Grev, elu tau itu. Sampai sekarang pun, meskipun elu dah nolong gue, gue tetap saja kacau!" Grev tersenyum bijak. Mendengarkan.
"Grev, istri lu rasanya pantas menggantikan gue." ujar Bimo lagi.
"That's look like not the point..." elit Grev. Istrinya menggantikan Bimo? Yang benar saja, istrinya tengah hamil dan itu bukan inti dari pengunduran diri Bimo, bule Jepang itu lah intinya, batin Grev.
"Oke oke, gue punya banyak masalah. Lia." mendengar nama Lia, karyawan termuda di kantornya membuat pikiran Grev menuju satu titik.
"Lia kenapa."
"Lia hamil!"
"Hah?" meskipun telah menduga, Grev tak urung terkejut juga.
"Hamil dengan siapa?" tanya Grev mencari pasti.
"Gue."
"Elu???!!!!"
"Ya gue. Dia begitu polos, muda, dan gampang dibodohi Grev. Intinya, dia mudah diajak tidur ... muda ... panas ... liar ..."
"Dan hamil."
"Ya hamil." Bimo menyalakan sebatang rokok dan mulai menghisap dalam-dalam asap nikotin, memenuhi paru-parunya.

"Nikahi, tanggung jawab."
"Gue ga bisa! Gue ga mau hidup gue terkekang dan gue ga cinta Lia!!"
"Itu resiko dari pergumulan kalian."
"Tapi gue ga mau Grev."
"Dan harus lari dari tanggung jawab? Lia hamil. Dia butuh elu sebagai penopang batinnya. Bagaimana perasaan orangtuanya?"
"Entahlah .. blank otak gue."
"Rei, istri gue juga hamil. Hari ini kita sama-sama tau usia kehamilannya, 3 minggu. Gue, dari lubuk hati, sebagai laki-laki dan suami, memberinya perhatian dan dukungan moril ... bagaimana dengan Lia? Lia masih jauh lebih muda dari Rei, bayangkan itu bro." terang Grev panjang lebar, mencoba memberi bandingan antara Rei dan Lia.
"Gue ga cinta Lia. Lia hamil, gue harus lari, ogah gue tanggung jawab. Semalam gue seolah mendapat jalan keluar tercerah, gue ke Jepang, nemenin Himiko, istri lu gantiin gue, dan Lia, biarkan dia sendiri dengan masalahnya."
"Masalah ga akan hilang begitu kita ingin melupakannya begitu saja tanpa menyelesaikannya bro." nasehat Grev.
"Tapi .."
"Cinta bisa tumbuh kapan dan dimana saja. Contohnya cinta Rei ke gue yang dikenalnya dengan nick Bas. Cinta bisa tumbuh begitu kalian menikah dan bertemu setiap hari. Cinta bisa tumbuh dengan lahirnya bayi elu bro. Pikirkan itu. Dan jangan pernah beranggapan gue mau mempekerjakan istri gue. Rei butuh istirahat dan ketenangan." Bimo terdiam. Lama. Diingatnya cerita Grev soal Rei saat mereka pacaran lewat irc, tanpa Rei tau siapa gerangan nick Bas sebenarnya.

"Gue ga akan memaafkan elu bila semua rencana elu sampai terlaksana." ancam Grev. Tatapan mata Bimo melemah.
"Gue ..."
"Pikirkan lagi. Gue mau hasil yang memuaskan dari hasil pemikiran elu. Ingat usia bro. Apa elu mau menghabiskan hidup dengan begini-begin saja?" kata-kata Grev menikam ulu hatinya. Begini-begin saja, berfoya-foya, hidup santai dan cenderung kelam.
"Gue usahakan."
"Gue tunggu hasil usaha elu." Grev mengaktifkan kembali hp nya. Bimo menyeruput greensand dingin di hadapannya. Grev mengangguk mantap. Bimo ga boleh lari dari masalah nya sendiri, Grev harus bisa menahannya dan memaksanya menikahi Lia.
"Oh iya Bim, dapat salam dari Rei, katanya dia sampai sekarang masih penasaran sama elu, 2 bulan dia pindah ke Jogja dan sempat ke kantor 2 kali, masih belum berkenalan juga sama elu." kata Grev.
"Someday ... katakan salam hangat dari gue juga. Dan selamat atas kehamilan Rei bro." ujar Bimo.
"Selamat juga atas kehamilan Lia .." Bimo tertawa sumbang. Usai lunch keduanya kembali ke kantor. Paling tidak Grev sedikit lega. Dilihatnya meja Lia kosong. Yang ada hanya Geyah, yang seperti biasa lebih memilih chating dan makan di kantor juga Sarah, si bude. Grev sebetulnya ingin bicara empat mata dengan Lia, suatu saat akan dicarinya waktu yang pas. Bila perlu, biarkan Rei yang bicara, dari wanita terhadap wanita rasanya lebih pas.

to be continued!!



Monday, June 14, 2004


Risalah Cinta part.14


Tak terasa jarum jam telah menunjukan saatnya untuk lunch. Grev memperhatikan Rei yang duduk santai di sofa sambil membaca buku panduan melancong ke Jogja. Dimatikannya komputer dan menghampiri Rei di sofa.
"Dear .. lapar? Makan siang yuk." ajak Grev begitu duduk disamping istrinya. Tangannya membelai mesra rambut Rei dan yang satunya lagi mengelus pipi mulus sang istri. Rei menatap sendu pada suaminya. Perutnya memang sudah mulai keroncongan.
"Oke ... dimana?" tanya Rei kemudian.
"Hmmm di kantin depan kantor aja yuk, masakannya enak-enak loh." Rei setuju. Keduanya keluar ruangan dan mendapati ruang kerja karyawan yang mulai sepi. Tinggal Geyah yang memilih chating untuk mengisi waktu senggangnya dengan satu kotak nasi dimeja.
"Ga keluar makan Geyah?" tanya Grev berbasa basi.
"Ga usah pak. Saya dikirimi makanan dari rumah. Lagian saya lebih suka disini kok pak." jawab Geyah.
"Sambil chating yah hahaha ... pokoknya undangannya harus saya terima loh!" goda Grev. Geyah tertawa renyah.
"Beres bos!!" Grev pun pamit pada Geyah untuk makan siang. Di tengah ruangan masih ada 2 orang karyawan wanita dan 1 karyawan pria.
"Oh iya, Keke, Emmi ga lunch? Yanus juga .. ga kluar lunch?" tanya Grev pada ketiganya. Rei langsung tau, yang berambut panjang itu Emmi dan yang berambut cepak itu Keke. Sedang Yanus, berkulit sawo matang dengan rambut kriwil. Pasti orang timur, tebak Rei.

"Belum lapar bos!" jawab Keke cuek. Dia pasti amat tomboy. Emmi yang rada feminin mengiyakan.
"Iya pak, belum lapar." jawab Emmi menambahkan.
"Yanus?" tanya Grev lagi.
"Aduh pak, masih ada rencana perjalanan yang belum beres, karena bude Sarah dan Lia diajak Doni makan, beta harus nyelesaikan ini dulu. Besok rombongan bule Jepang sudah mulai tour hari pertama mereka." jawab Yanus.
"Doni ngajak bude makan siang? Apa ga salah?" tanya Grev sembari mengerutkan dahi. Sarah, wanita 30-an, paling tua dari semuanya, acap kali dipanggil bude. Telah menikah dengan seorang pegawai negeri dan memiliki satu orang putri.
"Sebenernya sih Doni ngajak Lia, cuman bude khawatir hhahaha, tau kan si Doni, suka genit sama daun mudaaa." komen Emmi. Suaranya bagus. Lia, gadis manis yang jadi incaran Doni, hanya Lia lebih suka pada Bimo, wakil Grev yang super macho itu.
"Hahaha, oke deh kalau gitu ... " Grev mengamit lengan istrinya keluar. Di meja frontoffice, hanya ada Manda.
"Gantian Man?" tanya Grev sambil lalu.
"Iya pak, nunggu Ratna, dia duluan." jawab Manda.

Mereka melewati satpam, nampak satu orang satpam lagi, si Heri tentunya, karena Rei tadi telah mengenal Stanis, satpam yang menegur mereka tadi. Kantin nampak penuh. Banyak karyawan dan karyawati yang berasal dari gedung-gedung lainnya di situ yang menghabiskan waktu makan siang mereka di kantin ini. Mereka duduk di meja pojok.
Suasana kantin ramai, berbagai jenis orang campur aduk disitu. Ada karyawan bank, karyawan perusahaan Grev, karyawan perusahaan lainnya sampai anak kuliahan. Menunya standart. Ada menu makanan khas Indonesia, ada juga menu khas makanan bule, mengingat kompleks di perkantoran itu terdapat satu perusahaan asing milik orang Jerman. Rei makan dengan lahap, tak henti-hentinya mereka bercerita. Tentang para karyawan dan lingkungan sekitar kantor. Rei nampak puas.

Menjelang sore baru mereka pulang. Mobil Grev kembali membelah jalanan Jogja. Rei mulai mengantuk, capek sekali hari ini. Ke rumah mertua, ke kantor suaminya dan berkenalan dengan begitu banyaknya orang-orang baru. Satu nama kemudian terlintas di benaknya.
"Oh iya mas, lalu Bimo kemana?" tanya Rei.
"Belum masuk barangkali. Dia itu termasuk buaya-nya bule cewek! Hehehe, pasti semalam keluar sama salah satu dari bule prancis ... ya begitulah hidupnya." jawab Grev datar.
"Lalu pekerjaannya apa?" tanya Rei penasaran. Enak bener dong Bimo.
"Menggantikan gue. Banyak lah kerja dia." jawab Grev lagi. Rei menelan ludah dan kembali bersandar pada jok. Matanya mulai berat. Dia tertidur.

Saat membuka mata, Rei mendapatkan dirinya tergolek dibalik selimut di dalam kamar mereka. Grev menghampirinya dengan segelas susu hangat.
"Dear, tidurnya pulas sekali, sampai gue ga tega membangunkan." Rei mengerjap-ngerjap. Dirinya tertidur pulas yah? Capek barangkali sebabnya.
"Jadi mas menggendong Rei?" tanya Rei tak percaya. Grev mengangguk seraya mengangsongkan gelas susu ke mulut istrinya. Rei bangkit, duduk sandaran ke kepala ranjang dengan bantal sebagai sandaran.
"Minum dulu ..." Rei minum lalu turun dari ranjang.
"Mau kemana dear?" tanya Grev sambil meletakkan gelas di meja.
"Mandi, lengket semua rasanya badan ini." Grev tertawa. Rei meraih handuk dan mandi. Seharian menemani suaminya, dirinya butuh air segar supaya fit lagi. Setelah mandi didapatinya Grev duduk di sofa, di sudut kamar, dengan 2 kotak KFC di hadapannya.
"Dear, makan dulu, tadi gue telpon ke KFC, minta diantar. Sini dear." Rei tertawa, pasti suaminya ga mau makan telur ceplok lagi. Diambilnya satu kotak dan mulai makan.

"Gimana komentarnya?" tanya Grev disela-sela mengunyah kulit ayam yang krispi banget.
"Keren, top abis." jawab Rei dengan mulut penuh.
"Apanya yang top abis? Gue? Ah, gue sih emang top dari dulu ahahaha." canda Grev, Rei meninju lengan suaminya gemas.
"Weeee. Itu rumah ma dan pa top abis. Kantor mas dan orang-orangnya juga top abis. Rei puas deh." jawab Rei sambil membereskan kotaknya yang telah berpindah isi ke perutnya. Grev menyerahkan satu botol aqua ke Rei yang langsung diminum Rei.
"Puas? Hmmmmm ..." Grev melirik kanan kiri dengan jenaka. Rei tersipu malu. Demi menghindari paras nya yang memerah Rei berlari ke kamar mandi, cuci tangan dan menatap wajahnya di cermin. Hei Rei, here you are, a wife from a great husband.

Sekembalinya dari kamar mandi, Grev telah menantinya di ranjang. Well, meskipun telah melewatkan malam penuh cinta bersama Grev di Surabaya usai pernikahan mereka, Rei masih saja malu-malu untuk urusan yang satu ini. Namun Grev, seperti janjinya, adalah guru yang baik sekaligus liar. Malam itu, mereka kembali bercinta. Memberi dan menerima, seperti yin dan yang. Menuntut dan memberi, seperti keseimbangan hidup. Rei kembali tertidur pulas disamping Grev.

+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-+

Usia pernikahan mereka menginjak 2 bulan kini. Kehidupan mereka berjalan layaknya air mengalir, lambat tapi pasti, deras tapi terkendali. Tanpa Rei sadari, di dalam rahimnya mulai tumbuh benih kasih mereka. Rei mulai sering merasa pusing dan mual. Dan kedua hal itu sering menyerangnya bila tengah bersama Grev, menghabiskan waktu setiap malam penuh cinta. Grev bukannya ga menyadari hal yang satu ini, namun dia masih menunggu, kelanjutan dari pusing dan mual itu sampai dimana.

"Huuuuuueekkkkkkkkkk...." Rei berlari cepat ke kamar mandi, Grev bangkit dari ranjang dan mengikuti istrinya ke sana. Rei muntah, mengeluarkan cairan kuning yang entah apa. Grev mengurut pundak istrinya lembut.
"Dear?" Rei kehabisan napas di wastafel dan menunduk terengah-engah. Dirasakannya lengan kokoh suaminya merengkuhnya dari belakang dan berbisik.
"Besok kita ke dokter ya, jangan bandel." ke dokter? Jarum suntik? Bau obat? Mendengar kata dokter ibarat diperintahkan ikut berperang. Rei kembali mual dan muntah-muntah lagi. Grev kembali mengurut pundaknya lembut dan mencium pipi nya sekilas. Dibimbingnya Rei kembali ke ranjang dan menyelimutinya.
"Besok pagi kita ke dokter dear ... gue ga mau hal-hal buruk menimpa elu." jelas Grev sembari membelai rambut Rei. Rei, mau ga mau hanya bisa mengangguk pasrah. Dirinya memang butuh dokter, butuh obat yang bisa menghilangkan rasa pusing dan mual yang selalu menderanya bila diajak bercinta oleh suaminya sendiri. Dia takut, takut yang berbeda dari Grev, takut Grev memilih alternatif lain untuk memuaskan dirinya sendiri. Oh .. Rei tertidur dengan pikiran yang terganggu, namun tidurnya justru dihiasi mimpi yang indah.

Pagi-pagi sekali Grev telah bangun, membangunkan Rei yang kesiangan untuk sholat subuh. Rei sempat marah, tapi kemarahannya langsung reda demi melihat wajah tak berdosa suaminya.
"Hari ini ga usah ke dokter yah mas .." pinta Rei manja. Grev menggeleng kuat.
"GA! Hari ini harus ke dokter, demi kebaikan elu sendiri dear .." well, terpaksa dengan berat hati Rei bersiap-siap. Mereka ga sarapan di rumah. Kantin rumah sakit dan lontong sotonya menemani sarapan mereka pagi itu. Grev bersih keras agar Rei mau menghabiskan sepiring lontongnya, dengan alih-alih, demi kebaikan Rei juga.

Beruntunglah mereka, daftar tunggu tak begitu panjang. Masuk ruang dokter, aroma khas obat-obatan langsung menyeruak hidung. Rei pusing ... jangan sampai muntah disini dong Rei, batinnya bicara. Tanpa basa basi, atau memang si dokter ga bakat banyak bicara, Rei langsung masuk kamar periksa, kamar yang hanya disekat dengan tirai putih kaku khas rumah sakit. Usai diperiksa Rei kembali duduk di sebelah suaminya.
"Hmmm ..." yah si dokter, bergumam pun tak jelas. Rei melirik ke Grev yang dibalas Grev dengan tatapan pasrah. Dokter mau ngomong apa sih? Grev menatap wajah dokter yang bahagia. Wow, bahagia?
"Selamat yah bapak dan ibu. Ibu telah hamil tiga minggu." jantung Rei serasa copot. Bukan karena kaget atau apa, hal ini sudah pasti dinantikannya. Namun, merasakan dirinya bakal menjadi seorang ibu membuatnya kaget. Secepat ini waktu berlalu. Grev memeluknya mesra dan mencium keningnya. Mereka pulang dengan seribu perasaan suka di hati.

Rei ditinggal sendiri di rumah sedangkan Grev harus kembali ke kantor. Sebenarnya Grev masih ingin terus di rumah, kalau perlu ga usah masuk kerja, dia ingin melewatkan hari bahagia ini bersama Rei. Namun telepon emergency dari Bimo mengharuskan Grev segera memacu mobilnya ke kantor. Rei mengunci semua pintu dan jendela, duduk disamping telepon yang berada di dekat dapur dan mulai memencet tombol rumah mertuanya.
"Assalamu'alaikum." oh .. thanks God, ma Grev sendiri yang menerima.
"Wa'alaikumsalam .. ma .. ini Rei .." suara di sebelah nampak terkejut.
"Oh hei, kok ga ke sini lagi sayang?" Rei tertawa sambil mengajukan beberapa alasan yang masuk akal.
"Oke oke .." jawab ma.
"Ma .. Rei telpon hanya mau ngasih tau, Rei hamil." sontak suara di seberang histeris minta ampun. Ma Rei, barangkali lagi joget dangdut demi mendengar mantunya hamil.
"Waaaaaaaaaaaaa ... Alhamdulillah. Ya udah kalau gitu nanti Sulis ma suruh ke situ deh, sekalian si Pardi. Pa harus segera diberitau nih. Biar ma saja yang telpon ke pa ya sayang. Kamu segera kabari orangtuamu di Surabaya. Jangan ditunda lagi!" ujar ma Grev panjang lebar.
"Iya ma, habis ini Rei mau telpon ke Surabaya. Tapiii Sulis dan Pardi ga usah ke sini dulu deh, Rei ga pa pa kok ma, masih normal ehehe." pinta Rei. Namun bu Musry bersih keras mengerahkan Sulis dan Pardi ke rumah mereka. Sekali lagi, demi kebaikan Rei.

Menutup telpon, Rei menarik napas panjang. Duh mertuanya, terlalu mencemaskan dirinya. Terlalu mengasihi .. Rei takut dirinya menjadi manja. Selang lima menit Rei menelpon orangtuanya. Seperti ma Grev, ma nya sendiri histeris senang dan langsung tereak-tereak Mika, anak Krisna. Mika, ponakan Rei. Rupanya Mika lagi maen di rumah oma opanya, dia menjadi orang nomor tiga yang tau kehamilan Rei.
"Wah tante, Mika bakal punya adek dong!! Asik, nanti Mika ke Jogja yah, ngunjungi tante!" komentar Mika yang ceriwis. Rei hanya bisa tertawa menanggapi ke-histeris-an mereka. Lepas menelpon Rei kembali ke kamar, ingin istirahat, entah kenapa dirinya sering banget merasa capek akhir-akhir ini. Apa gara-gara hamil yah? Pandangan Rei tertuju pada komputer suaminya dan menghidupkannya, menuju ruang maya yang selama ini dirinduinya. Ruang maya yang telah menjadikannya nyonya Grev.

to be continued!!


Sunday, June 06, 2004


Risalah Cinta part.13


Rei terbangun dari mimpi indahnya, mimpi terindah yang pernah menghiasi tidurnya. Duduk berdua Grev di taman yang dipenuhi aneka bunga, saling bergenggam tangan dan menatap bulan yang menyinari indahnya cinta mereka. Disampingnya Grev masih tidur, nyenyak. Jam berapakah suaminya naik ke ranjang semalam? Tentu bukan semalam, pagi tadi .. atau? Rei bangkit perlahan dan melihat jam kuno yang tergantung di dinding. Hmm, jam 4.30, sholat Subuh. Rei bergegas ke kamar mandi, mandi dan berwudhu. Rumah baru ini, rumah Grev, terasa akrab di hatinya, apakah karena dia nyonya rumah ini? Rei meraih mukenah dan sajadah, memulai khusuknya sholat subuh, menyerahkan dirinya total pada Allah, memohon ridho Allah untuk hari ini.

Dapur mungil ini untuk pertama kalinya disentuh Rei. Perabotnya bersih dan licin, jarang digunakan tentu oleh Grev. Masa bujang nya pasti dilewatkan dengan makan diluar rumah, praktis dan tak perlu repot-repot memasak. Rei membuka kulkas, mencari apa yang bisa dimasak untuk sarapan pagi itu. Nasi goreng? Ah ... Oh ... Rei harus memasak apa? Diambilnya 2 butir telur dari kulkas, menghidupkan kompor gas dan mulai menggoreng telur ceplok setengah masak. Rei lalu menanak nasi, menggunakan magic com yang tersedia disamping dispenser. Merasakan hari ini adalah hari dirinya menjadi istri sesungguhnya, melayani suami sepenuh hati, ga boleh mengeluh, itu nasehat ma. Hidup Grev yang praktis, menyenangkan, tak perlu repot kan? Tepat pukul 6 Rei kembali ke kamar, membangunkan suaminya.

"Mas Grev, bangun .. ga kerja hari ini?" Rei mengguncang tubuh Grev pelan tapi pasti. Grev membuka matanya sesaat, pandangan matanya sedikit kabur, masih ngantuk.
"Dear .. jam berapa sekarang?" tanya Grev. Rei melempar pandangan ke arah jam yang tergantung di dinding.
"Jam enam mas. Tadi Rei dah gorengin telur ceplok." ujar Rei malu-malu. Grev mengacak rambut istrinya seraya bangkit.
"Hari ini harusnya gue masih libur Rei, tapi biarlah, kita dah janji ke ma dan pa untuk bertandang ke rumah mereka kan?" ujar Grev mengingatkan. Rei menangguk.
"Iya, makanya cepat mandi trus sarapan. Rei tunggu di dapur yah." satu kecupan lembut di pipi suaminya trus Rei kembali ke dapur.

Grev bangkit, menatap sekeliling kamarnya. Rapih .. hmm enaknya punya istri ya begini, ada yang ngurusin, ada yang merhatiin. Grev tersenyum simpul, enak yah ber rumah tangga itu? Diraihnya handuk dan langsung mandi sambil bersiul-siul senang. Hari ini akan diajaknya Rei ke rumah orangtuanya. Kalau masih sempat akan diajaknya Rei ke kantornya, perusahaan miliknya sendiri yang bergerak di bidang travel agent. Dia bisa memperkenalkan Rei, istrinya, kepada pegawai dan bawahannya di kantor nanti.

"Dear .." Grev duduk, menghadap satu piring nasi panas dan 2 telur ceplok buatan istrinya. Dia tersenyum sambil menatap istrinya menyeduh secangkir kopi panas.
"Kental?" tanya Rei. Grev mengangguk. Yeaaa, enaknya punya istri ya begini, apa-apa dilayani.
"Trims dear. Ga sarapan?" tanya Grev begitu dilihatnya Rei duduk dihadapannya hanya ditemani secangkir teh. Rei menggeleng, perutnya belum lapar dan masih terlalu pagi baginya untuk sarapan.
"Mas sarapan dulu ... Rei ga jago masak ... itu doang bisanya." ujar Rei malu-malu melihat sepiring nasi dan telur ceplok di hadapan suaminya. Grev terkekeh mendengar penuturan istrinya.
"Learning by doing ... itu lebih bagus kok ..." hibur Grev lalu makan dengan lahapnya. Lahap? Rei kembali memerah muka, apa suaminya memang betul menikmati sarapan super sederhana ini atau hanya ingin menghiburnya?
"Ngg .. Rei janji, bakal latihan masak!" kata Rei lagi. Grev mengangguk setuju. Bagus kan mempunyai keinginan belajar dari pada tidak sama sekali?

Jam 8 keduanya berangkat. Mobil Grev membelah jalanan Jogja. Mata Rei tak lepas dari pemandangan sekitarnya, suasana yang berbeda dari Surabaya. Jogja memang lebih ramah dan bersahabat. Pelan-pelan Rei bersenandung satu tembang milik Kla Project, Jogjakarta. Pulang ke kotamu .. ada setangkup haru dalam rindu .. masih seperti dulu .. Grev menoleh.
"Bagus suaranya hehehe." goda Grev.
"Lumayannn buat ngusir tikus di rumah!!" jawab Rei dan mereka pun tertawa lepas.

Rumah orangtua Grev nampak megah dari kejauhan.
"Yang bercat putih itu dear. Mau tau kenapa rumah kita cat nya putih juga? Biar mas bisa terus merasakan kehangatan rumah ma dan pa di rumah sendiri." terang Grev. Rei mengangguk sembari matanya tak lepas dari satu rumah di sudut jalan. Berpagar tembok biru dengan taman kecil di depannya yang dipenuhi bunga-bunga. Usai memarkir mobil, keduanya lantas masuk.
"Assalamu'alaikum!!" seru mereka. Dari dalam terdengar langkah-langkah kecil yang tergesa.
"Wa'alaikumsalam ..." Pardi membuka pintu. Wajah lugu anak itu langsung tersenyum begitu melihat Grev dan Rei.
"Wah mas Grev dan mbak Rei, masuk mas, mbak, ibu dan bapak sudah menunggu di dalam. Katanya hari ini mas dan mbak akan kemari." tutur Pardi sopan. Anak itu membungkuk dalam begitu Grev masuk.
"Makasih yah Pardi." ujar Grev sepintas lalu mengajak Rei masuk. Bu Musry menyambut keduanya dengan pelukan hangat dan basa basi seorang ibu terhadap anak. Pak Musry nampak asyik membaca koran pagi.
"Paaakkk, anak-anak sudah datang!" pak Musry segera melipat kembali korannya dan menyambut kedatangan Grev dan Rei.

"Ayo ayo masuk. Sudah sarapan?" tanya pak Musry kemudian, begitu keempatnya tengah duduk di meja makan.
"Grev sih udah pa, tapi Rei nih, pagi tadi belum sarapan." adu Grev. Rei menyikut perut suaminya dengan paras memerah.
"Ya kalau begitu, ayok, sarapan sama-sama pa dan ma. Kita kan sekalian tadi nunggu kalian berdua. Tuh ada nasi goreng, mi goreng dan roti selai. Mau sarapan yang mana nduk?" tanya ma Grev ke Rei. Rei sendiri sebenarnya belum mau sarapan, namun demi menghormati sang mertua, Rei akhirnya memilih setangkup roti selai dan segelas jus jeruk. Mereka sarapan dengan penuh canda dan tawa. Apalagi bu Musry paling suka menggoda Rei. Betul kata Grev, orangtuanya asik banget. Usai sarapan, Rei diajak bu Musry keliling rumah, memperkenalkannya pada Sulis, pembantu rumah tersebut. Sulis, cantik dan manis, sayang nasibnya mentok sebagai pembantu rumah tangga. Tanpa Rei sadari, Sulis terus menerus melemparkan lirikannya ke Grev.

Rumah besar bercat putih dan dipenuhi ornamen ke-jawi-an itu hanya berpenghuni lima orang. Pa dan ma Grev, Pardi, Sulis dan pak Bagio. Pak Bagio itu supir pa Grev, sekaligus tukang kebun yang telah ikut keluarga Musry sejak masih muda. Suasana rumah orangtua Grev lebih hangat terasa, barangkali mereka tak memilih ac sebagai pendingin ruangan, melainkan menambahkan banyak jendela-jendela besar yang memudahkan siklus udara di dalam ruangan. Berbeda dari rumah Grev yang dindingnya sepi dari hiasan, di rumah ini hampir semua dinding dipenuhi lukisan wayang, bunga-bunga gantung dan foto mereka. Masih ada lagi aquarium besar diantara ruang makan dan ruang keluarga. Ma mertuanya memang pantas dapat empat jempol, menurut Rei. Beliau betul-betul seorang ibu rumah tangga sejati, seperti ma Rei sendiri. Hidup mereka adalah sepenuhnya untuk keluarga. Puas melihat-lihat, bu Musry mengajak Rei kembali bergabung bersama Grev dan pa nya, yang sekarang sedang asyik memperhatikan louhan peliharaan pak Musry yang mulai tumbuh mutiara kecil-kecil di sekujur kulitnya.

"Sudah kelilingnya?" tanya pa sambil jarinya bermain di kaca aquarium, membiarkan louhan kesayangannya mengikuti kemana pun jarinya terarah.
"Sudah pa ... ma memang ibu rumah tangga sejati!" puji Rei tulus.
"Nanti, elu juga bakal jadi ibu rumah tangga sejati kok dear." kata Grev sambil mengedipkan sebelah matanya. Mereka tertawa, tawa yang terasa pedih bagi Sulis. Pembantu rumah tangga usia 20-an itu kembali ke dapur, kembali pada pekerjaannya. Sedangkan Pardi nampak sibuk membantu Sulis membereskan meja makan.
"Loh, Pardi ga sekolah ma?" tanya Grev tiba-tiba.
"Catur wulan ini dia sekolah siang, jadi pagi bisa bantu-bantu. Oh iya Rei, kalau kamu kesusahan ngurus rumah, telpon ma saja, nanti Pardi dan Sulis ma suruh ke sana, bantuin kamu." sara ma Grev tulus.
"Iya ma, nanti ... sekarang sih Rei masih sanggup hehehe."
"Sekarang mungkin belum nduk, tapi kalau kamu sudah mengandung, kan harus banyak istirahat, disitulah kamu pasti butuh Pardi dan Sulis." bu Musry kukuh pada niatnya.
"Iya ma .. " jawab Rei patuh. Mereka masih terlibat obrolan di pagi itu. Jam 10 pak Musry pamit ke kantor. Grev pun berniat pamit, mau mengajak istrinya ke kantornya juga. Bu Musry berpesan agar Grev berhati-hati mengemudi, banyak kecelakaan akhir-akhir ini, apalagi dirinya tidak sendiri bermobil.

"Kantor mas jauh?" tanya Rei begitu mobil Grev kembali membelah jalanan Jogja. Suasana Jogja ramai, mata Rei kembali menatap kiri kanan, memperhatikan sekitarnya.
"Deket kok, ga terlalu jauh." jawab Grev. 30 menit bermobil, Grev masuk ke areal perkantoran dan memarkir mobilnya di tempat parkir yang sudah dipenuhi mobil-mobil lain.
"Nah, di kantor ini lah usaha travel agent mas beroperasi. Bangunannya bertingkat dua dear, dengan dua puluh lima orang karyawan, lima belas karyawan indoor dan sepuluh karyawan outdoor yang paruh waktu. Sepuluh minibus adalah armada yang akan membawa para turis keliling Jogja, bahkan hampir semua daerah jawa tengah. Oh ya, masih ada lagi, empat orang satpam yang shift pagi dan malam juga dua orang cleaning service yang berperan sebagai penyedia minum dan snack disini." terang Grev panjang lebar. Grevidi Travel Agent. Rei mengangguk-angguk mengerti.

Seorang satpam menghampiri mereka.
"Pak!!" panggil satpam itu. Grev menoleh.
"Hei Stanis! Sama siapa jaga hari ini?" tanya Grev sambil menyalami satpam muda tersebut.
"Sama Heri pak, dia masih ke kamar kecil." jawab Stanis.
"Oke .. gue masuk dulu yah." Stanis mengangguk hormat.

Grev mengajak Rei masuk. Aroma yang harum menyambut mereka, dengan dua orang frontofficer, dua gadis yang manis dan ramah.
"Selamat pagi pak." sapa mereka. Pandangan mereka terarah pada Rei.
"Selamat pagi bu." yang satu segera menambahkan. Mereka memakai stelan jas yang sama. Well, perusahaan Grev memang maju. Para bule itu mau membayar berapa saja, asalkan dilayani dengan baik dan mereka puas.
"Pagi. Kalian tentu sudah tau, ini bu Rei, istri saya. Rei, itu Manda dan Ratna." Rei membalas senyum keduanya. Oh, mereka manis sekali, batin Rei. Di depan meja Manda dan Ratna, diletakkan seperangkat sofa empuk dengan rak di sudut yang dipenuhi buku bacaan. Kebanyakan sih buku panduan melancong di Jogja. Manda dan Ratna sama-sama putih dan berambut sebahu, yang membedakan mereka adalah bentuk mata. Mata Manda lebih sipit dan terkesan chinese sedangkan bentuk wajah Ratna lebih ke-jawa.
"Mereka berdua adalah andalan gue disini. Senyum mereka, katanya sih sulit ditolak orang!" bisik Grev. Rei tersenyum.

Masuk lebih dalam, satu ruangan besar dipenuhi dengan meja-meja saling berhadapan yang dilengkapi dengan komputer. Beberapa karyawan langsung tersenyum begitu melihat kedatangan Grev.
"Pagi bos! Istrinya kan? Pagi bu!" ujar salah seorang karyawan lelaki.
"Pagi Doni. Seperti yang sudah kamu tau ... istri saya. Rei." Grev berkata itu dengan volume suara yang lebih besar. Semua, kira-kira sepuluh orang disitu langsung berdiri, menatap kagum pada keduanya. Pasangan yang serasi.
"See .. selamat pagi semuanya." ujar Rei sopan dan melempar senyum. Kasak kusuk mulai terdengar.

Di sudut ruangan, ada satu meja biro besar dengan satu komputer. Disitu seorang wanita, tidak terlalu cantik namun sinar matanya nampak ramah.
"Nah dear, ini Geyah, bendahara disini, semua keuangan perusahaan ada di tangannya. Geyah, ini .." belum selesai Grev berkata, Geyah telah memotong.
"Istri bapak. Selamat datang bu." ujar Geyah ramah. Dari bangunan itu terdapat 3 ruangan. 1 ruangan kerja Grev, 1 ruangan kerja wakil Grev dan 1 nya lagi ruangan rapat atau aula.
"Bimo belum datang?" tanya Grev ke Geyah.
"Belum pak, biasa pak Bimo, kalau ada turis perancis hehehe." canda Geyah. Grev mau tak mau ikut tertawa. Rei menatap tempatnya berpijak sekarang. Sungguh, dulu itu, dirinya tak menyangka seorang nick 'Bas' yang selalu mengaku sebagai karyawan paruh waktu dan masih kuliah ternyata memiliki semua ini. Anugrah.

Grev mengajak Rei ke ruang kerjanya. Luas. Isinya selain meja kerja yang dilengkapi dengan perangkat komputer, ada lemari besar entah apa isinya, satu set sofa di sudut ruangan yang didekatnya terletak kulkas mini. Karpetnya pun tebal. Gaya Grev masih sama untuk dinding, hanya ada satu lukisan borobudur di dinding kerjanya. Rapih, jauh dari kesan meja seorang yang memiliki travel agent, yang biasanya dipenuhi dengan kertas-kertas dan peta-peta kota. Lalu sekertaris?
"Mas, ga ada serketaris kah disini?" tanya Rei.
"Hmm gue ga butuh sekertaris. Disini ga ada yang namanya sekertaris dear, kita bukan kantor formal kan? Lihat saja, para karyawan, selain Manda dan Ratna, semuanya bergaya bebas. Oia, nanti gue kenalkan sama Bimo, teman yang sekaligus menjadi wakil kalau gue ga ada ditempat." jelas Grev. Rei mengangguk lagi. Menyenangkan. Grev membiarkan istrinya mengamati isi kantornya sedangkan dirinya disibukkan dengan tumpukan kertas perjalanan dan laporan keuangan.

to be continued!!


tuteh pharmantara
living in Ende - Flores
Email Me



Name :
Web URL :
Message :