Thursday, July 29, 2004


Risalah Cinta  part.19

Kehadiran Mika di rumah Grev dan Rei di hari-hari berikut membawa angin segar, sesegar candanya, sesegar tawanya dan kata-katanya. Gadis itu selalu bisa membuat orang tersenyum. Bahkan Sulis yang lebih sering terlihat diam pun bisa tertawa mendengar cerita-cerita konyol Mika. Rika menelepon dari Surabaya menanyakan kabar Mika, Rei malah balik bertanya soal Miko."Oh Miko, udah selesai kok dek, ga gampang memang urusannya. Tapi Alhamdulillah deh .. semua sudah selesai." kata Rika dari seberang telepon."Syukur deh mbak .. Rei khawatir aja. Mika disini baik-baik aja kok, seminggu lagi dia baru pulang, besok malah mau ke kota gede sama kita. Hampir tiap malam Mika kita ajak keliling kota naik mobil hehehe." cerita Rei."Bagus lah kalau begitu." telepon ditutup. Rei tersenyum puas. Hampir semua masalah selesai.

Dia sedikit merasa lucu juga. Banyak masalah yang datang dan pergi di sini. Di Surabaya, dia lebih banyak menghabiskan waktunya untuk jalan-jalan, ke warnet, nyaris tanpa masalah berarti. Dia menikmati rasa menjadi anak bungsu yang cenderung manja. Perusahaan travel Grev pun berjalan mulus, apalagi Bimo lebih aktif sekarang di kantor. Doni mulai menjalin cinta dengan Manda. Memang baik begitu, sekantor dengan Lia, berseberangan meja malah, akan membuat hatinya sakit mengingat Lia telah menjadi istri Bimo. Manda, si resepsionis cantik pun menerima Doni dengan tangan terbuka, gayung bersambut deh.

Emmi dan Keke .. sepertinya mereka tak dapat dipisahkan lagi. Entah apa rencana yang ada di kepala mereka berdua. Rei tak mau ambil pusing, itu urusan yang amat pribadi, menanyakan pada Grev saja pun dia ga mau. Untuk apa? Mending dia menjaga kondisi semasa hamil ini. Bukan ketiga, sebentar lagi masuk bulan ke empat. Ma Grev sekarang lebih sering menelepon, juga pa nya. Sekedar tanya 'sudah makan?' 'sudah minum vitamin?' 'kapan ke dokter lagi?' dan lain sebagainya. Rei menganggapnya sebagai kasih sayang yang berlimpah.

Grev pernah bercerita soal mata Yanus yang sering berair, kata dokter, Yanus sudah harus memakai kaca mata!! Rei menanggapinya sebagai angin lalu saja, toh Yanus bukan anak kecil lagi, tak ganjil kok memakai kacamata."Padahal dia itu paling benci sama kaca mata, ribet katanya!" kata Grev waktu itu. Rei hanya bisa geleng-geleng kepala. Sebagian orang menganggap kaca mata itu penting, buat gaya. Eh Yanus malah benci sama kaca mata.
Ada yang tak diketahui Rei dan yang lainnya. Ada satu hati yang mencintai Grev diam-diam. Satu hati yang mencinta Grev lebih dari apa pun dan terus merutuki dirinya sendiri, mengapa bernasib sial menjadi seorang pembantu. Ada satu hati yang merana setiap kali melihat kemesraan Rei dan Grev di rumah itu, dia Sulis. Sulis yang malang. Sulis yang nelangsa.

+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-+

Hari ini mereka kecapaian. Setelah bermobil ke kota Gede pulang pergi, malam ini mereka makan dengan tampang letih. Sulis menyediakan makan di ruang makan, bukan di meja dapur kecil. Grev, Rei dan Mika makan tanpa suara. Setelah makan Rei ingin beristirahat, Grev menyetujuinya."Iya dear, elu kelihatan capek banget, gue ga mau ma marah-marah ke gue loh." komentar Grev. Mika terawa kecil."Iya nih tante .. ngotot ikut hihihi." Mika menggoda Rei. Rei tertawa."Kan tante belum ke sana Ka .. lagian mumpung si dia blum lahir, kalau sudah lahir, kapan bisa punya waktu ke sana hehehe." jawab Rei tak mau kalah. Setelah makan Rei langsung masuk kamar disusul Grev. Mika sendiri masuk ke kamarnya.

Sulis memberesi meja dan mencuci perabot makan. Setelah itu dia lekas-lekas cuci muka dan masuk kamar. Seperti biasa, gadis itu ga bisa tidur, yang ada di kepalanya lagi-lagi hanya Grev. Tuhan, sampai kapan aku bisa melupakan dia? Sulis bangkit, membuka lemari, mengambil diary dan selembar foto Grev disitu. Memandangi foto itu lekat-lekat dan mulai menulis diary, diary imut yang penuh dengan cintanya pada Grev. Menumpahkan semua rasa yang tertahan di dadanya di situ. Tempat bisu yang sanggup menampung semuanya tanpa cela dan protes.

Di kamar Mika, cewek itu ga bisa tidur. Diperhatikannya gelang, kalung dan cincin perak yang dibelinya dari kota Gede, ada yang mahal, yang dibelikan Rei dan Grev untuknya, ada yang murah, oleh-oleh yang akan dibawanya pulang nanti ke Surabaya. Banyak sudah oleh-olehnya, yang lain sudah di pack di dalam kardus, yang lain masih berceceran di karpet dan meja. Mika ingin pindah kuliah di Jojga, biarpun ga masuk UGM, yang penting kuliah di Jogja. Tapi tentu saja mama dan papanya ga bakal setuju. Dia sendiri sudah terlanjur jatuh cinta pada kota ini sejak pertama kali menginjakan kaki di bandara Adi Sucipto. Timbul satu ide di kepala Mika, dia ingin memberi Sulis satu gelang perak yang dibelinya tadi.

Mika menyeret sandal rumahnya dengan satu gelang di tangan. Pasti Sulis terkejut melihat gelang ini. Mika sendiri ingin menjadikan Sulis temannya meskipun Sulis hanya seorang pembantu. Bagi Mika, berteman itu tak perlu pandang status apa pun. Yang penting nyambung, gitu selalu dia berkomentar. Tanpa permisi Mika masuk ke kamar Sulis, gadis itu rupanya ga menyadari kehadiran Mika, ga menyangka Mika akan masuk ke kamarnya. Sulis tengah asik curhat pada diarynya, membelakangi pintu, duduk di meja yang menghadap tembok. Mika memelankan langkahnya .. pelan mengintip apa yang ditulis Sulis malam-malam begini. Mika tercekat, dilihatnya foto Grev di samping sebuah diary. Mika melotot tak percaya pada sedikit kata-kata yang sempat dibacanya,

Sulis cinta mas Grev .. apa daya Sulis hanya seorang pembantu.

Mika menarik napas pelan dan berdehem halus. Sulis kaget dan cepat-cepat menutup diarynya .. berbalik dan menatap Mika terpana. Sampai disinilah riwayatnya!! Sulis ingin menangis."Mbak Mika!!" serunya. Mika menatap Sulis .. ga percaya, ternyata didalam rumah tangga tantenya, ada duri kecil yang hidup."Sulis cinta mas Grev? Cinta om Grev??" ujar Mika patah-patah. Sulis diam, ga bisa bicara, lidahnya kelu."Sulis jawab!!" tuntut Mika. Dia ingin pengakuan jujur dari Sulis."Elu cinta om gue?????!!!!" lagi-lagi Mika berseru, hampir berteriak."Ampun mbak Mika, jangan teriak .. Sulis minta ampun." gadis itu mulai menangis. Mika duduk di ranjang Sulis. Menatap pembantu muda itu yang menangis, dan telah duduk terpekur di lantai.

"Sulis, tante Rei amat baik sama kamu." ujar Mika. Dia sendiri shock! Apa yang akan dikatakan tante dan om nya bila mereka tau hal ini? Marah kah? Benci kah mereka terhadap gadis tak berdaya ini?
"Saya minta ampun mbak .. ampun .." gadis itu tersedu-sedu.
"Kamu tau kan, tante Rei sudah menganggap kamu seperti adik sendiri? Gue sendiri melihat bagaimana baiknya tante sama kamu .. om Grev juga baik, apa karena kebaikan om Grev kamu jatuh cinta??" berondong Mika penuh rasa ingin tau. Sulis menggeleng lemah.

"Jangan membohongi kata hati Sulis .. om Grev memang baik, bukan hanya sama kamu, tapi sama semua orang. Sama Mika juga. Tapi apakah semua orang lantas jatuh cinta akibat kebaikannya?" Sulis diam, masih menangis.
"Saya salah mbak, Sulis janji, besok akan pergi dari sini." kata gadis itu. Mika menggeleng.
"Ga, kamu ga boleh pergi." tahan Mika.
"Saya malu mbak .. Sulis sebaiknya pergi dari sini .." kata Sulis lagi.
"Untuk apa? Apa kamu pikir dengan begitu masalah ini selesai? Kamu harus memulainya dari hati kamu sendiri. Hilangkan rasa cinta itu Sulis, itu salah! Kalau kamu langsung pergi, mereka pasti akan bertanya-tanya, dan gue pasti akan bercerita .. itu menyakitkan." kata Mika.
"Lalu saya harus bagaimana mbak?? Sulis bingung .." gadis itu tersedu-sedu lagi meratapi nasibnya. Kenapa tadi hatinya gatal ingin menulis diary? Kenapa?!!!

"Rahasia ini akan gue jaga, asal elu tetap tinggal disini, membantu tante Rei seperti biasa, gue juga masih muda, sama kayak kamu. Gue juga bisa saja terperosok dalam masalah yang sama dengan kamu, jadi biarkan ini akan jadi rahasia kita berdua. Malam ini, bakar foto dan diary itu. Kalau hari ini kedapatan gue, besok-besok mungkin kedapatan tante atau om, atau si Pardi." Sulis mengangguk patuh.
"Sulis, gue ingin bersahabat dengan kamu, jadi, lepaskan rasa itu .. kasihan diri kamu, kasihan mereka halau hal ini sampai terbongkar. Hal yang busuk, sekuat apa pun kita menutupnya rapat-rapat, pasti akan terbongkar juga, paham?" Sulis mengangguk lagi.
"Mbak Mika .. terima kasih .. mbak Mika baik sama saya, semua orang juga baik sama Sulis .." ujar gadis itu terbata.
"Apa kamu jatuh cinta sama gue karena kebaikan gue?" tanya Mika lagi.
"Ga mbak .. ga .." jawab Sulis. Mika menarik napas lega. Dihampirinya Sulis yang duduk terpekur di lantai, meraih tangannya, memakaikan gelang perak yang tadi berniat diberikan ke Sulis. Sulis menatap wajah Mika tak percaya.

"Mbak Mika?? Ngasih saya gelang ini?? Setahu saya harganya pasti mahal." Sulis menatap Mika haru.
"Mahal atau tidak, itu bukan suatu ukuran, yang penting niatnya. Oke?" ujar Mika lagi. Sulis mengangguk.
"Mbak Mika .. mau kah mbak menemani saya?" tanya Sulis penuh harap.
"Menemani apa?" Mika balik bertanya.
"Menemani saya membakar diary dan foto ini. Mendengar saya .. sedikit saja." kata gadis itu. Mika mengangguk setuju. Keduanya lantas menuju halaman belakang, mengambil korek dan mulai membakar diary imut dan foto Grev tersebut. Sulis menarik napas lega. Setelah sisa diary dan foto yang terbakar mereka bersihkan tanpa suara, mereka kembali ke kamar.

"Sulis, ke kamar gue saja yuk! Malam ini tidur di kamar gue, sambil curhat. Gue tau, kamu sebetulnya butuh teman curhat." kata Mika bijak. Sulis mengangguk patuh. Diambilnya selimut di kamarnya sendiri dan menyusul Mika ke kamarnya. Mika tiduran di ranjang, Sulis duduk disampingnya. Menatap takut pada gadis itu. Mika tersenyum bijak.
"Ceritalah, apa saja, agar perasaan kamu lega." kata Mika kemudian. Sulis mulai bicara .. pelan tapi pasti. Entahlah, setelah kejadian tadi, rasa letih dan kantuk seolah pergi dari Mika. Gadis itu begitu antusias ingin mendengar cerita Sulis, soal apa saja. Mika, biar pun cewek ceriwis dan hidup dalam lingkungan yang berbeda dari Sulis, namun dia cukup bijak. Mungkin karena dia anak pertama dalam keluarganya, barangkali karena pola pikirnya yang mulai dewasa, macam-macam lah. Dia sendiri puas dengan apa yang telah dilontarkannya pada Sulis tadi. Tak perlu ribut-ribut, semuanya bisa ditangani dengan baik, asal kita mau saja.

Sulis sendiri lebih lega. Dia awalnya ga percaya semua ini bisa terbongkar begitu saja, dalam semalam. Ga percaya bahwa hal ini justru akan diketahui Mika, keponakan Rei, majikannya sendiri. Sulis, seperti terbuka matanya dari mimpi buruk selama ini begitu Mika memergokinya di kamar tadi. Sulis kaget, tentu saja, itu hal yang amat sangat disembunyikannya selama ini. Dia sudah mau pingsan duluan begitu melihat Mika. Tapi kata-kata Mika berikutnya membuatnya seperti disiram air es. Dia menangis .. Ternyata, Mika, biarpun terlihat cerewet dan centil, tersimpan kebaikan hati yang tiada tara, Sulis berulang-ulang ngucap Alhamdulillah atas semua ini. Mika justru ingin mendengarnya berkisah, tentang apa saja .. Sulis rasanya ingin memeluk Mika, melabuhkan rasa terima kasihnya disitu. Mika benar, sesungguhnya Sulis butuh tempat curhat, tempat berbagi yang aktif, tidak pasif seperti sebuah diary.

to be continued!!



Tuesday, July 20, 2004


Risalah Cinta  part.18

Rei dan Lia masih membicarakan banyak hal lainnya. Soal orangtua Lia yang kolot, soal sekolah Lia dulu sampai soal kehidupan lain dari para karyawan. Rei sempat kaget mendengar pasangan lines, Emmi dan Keke. Awalnya dia tak percaya omongan Lia, namun fakta-fakta yang dibeberkan Lia memaksa dirinya untuk percaya. Pantas saja, mereka selalu bersama. Mereka selalu kompak dalam pekerjaan dan lain sebagainya. Rei lebih kaget lagi begitu Lia bercerita soal calon suami Emmi yang melarikan diri saat Emmi tengah hamil muda. Begitu kejamnya para pria menyikapi kekasih mereka yang hamil di luar nikah. Begitu mudahnya mereka melarikan diri!

Suaminya sendiri bagaimana? Apakah suaminya tau soal ini? Soal Emmi dan Keke, sampai pada masalah pribadi mereka? Well, Rei beruntung, suaminya tak seperti pria-pria yang menjengkelkan itu, yang lari dari kenyataan dan takut bertanggung jawab. Ataukah Grev pun akan bersikap demikian bila dihadapkan pada masalah yang sama? Rei menggeleng lemah, tak tau lah, yang jelas dirinya merasa aman-aman saja bersama Grev. Dirinya merengkuh kebahagiaan bersama Grev.

"Oh iya Lia, ibu sendiri belum pernah bertemu Bimo." ujar Rei tiba-tiba."Oh ya? Mungkin sebaiknya ga usah bu, dia itu brengsekk .. maaf ..""Ga pa pa, kamu toh masih marah padanya, barangkali akan terus marah pada sikap dan sifatnya, iya kan?" ujar Rei lagi. Lia mengangguk. Jelas lah, siapa sih yang bisa dengan mudah memaafkan pria yang telah berbohong dan tertawa gembira diatas penderitaan batinnya?"Seperti yang ibu sarankan tadi, banyak do'a yah, ibu juga ikut berdo'a untukmu Lia, semoga semua ini cepat selesai. Kalau kamu butuh tempat berbagi, hubungi ibu saja, telpon ke rumah atau sms ... oke? Sekarang kamu kembali kerja saja .. ga usah pikir macam-macam dulu." nasehat Rei. Lia mengangguk setuju."Terima kasih bu .." Lia bangkit dan keluar. Rei menarik napas lega. Bicara dari hati ke hati? Ehhh .. ga mudah yah? Untuk mengisi kekosongan waktu, Lia menghidupkan komputer Grev, online, mengechek surat sembari mendengar Radio online, Heart Beat Station. Headphone menempel erat di telingannya.

Jauh dari situ, Grev tengah cemas menanti seseorang di sebuah cafe mungil yang tak begitu ramai. Diperhatikannya jam ditangannya berulang kali, kemana sih dia? Ga brapa lama, Bimo muncul dihadapannya dengan tampang yang lebih segar dan senyum mengembang."Hei .." tegur Bimo. Grev meninju lengan Bimo dan mengajaknya duduk. Setelah memanggil pelayan dan memesan minuman, Grev langsung ke pokok permasalahan yang ingin dia bicarakan."Gimana, sudah ngambil keputusan? Gue pengen dengar keputusan elu sekarang juga. Kasihan Lia, jangan ombang ambingkan dirinya bro, Lia itu baik." ujar Grev. Bimo nampak siap bicara. Entah apa keputusan cowok yang satu ini.

"Gue akan menikahi Lia Grev." Grev tersenyum senang mendengarnya, akhirnya sahabatnya ini insaf, akhirnya dia menyadari dan mau bertanggung jawab terhadap kehamilan Lia."Good! I'm so glad to hear that bro .. you're nice hehehe." seru Grev senang. Bimo terkekeh."Angin apa yang berhembus neh sampe elu bisa seBAIK itu ngambil keputusan?!" tanya Grev ingin tau. Seorang Bimo memilih menikahi gadis yang 'belum' dicintainya, amazing thing, mengingat sebelumnya dia justru ingin melarikan diri begitu tau Lia hamil?!"Angin Grev hahaha. Gue sadar aja ... entahlah, kesadaran itu seperti datang tiba-tiba ke diri gue. Gue takut karma juga, gue kasihan Lia juga, gue kasihan juga kalau Doni yang harus bertanggung jawab meskipun ga ada yang maksa dia buat bertanggung jawab." ujar Bimo. Grev tersenyum."Angin gue heh?""Just forget it. Gue siap ke kantor sekarang, gue pengen ngomong sama Lia." ujar Bimo lagi."Good. Tadi Rei sudah gue suruh bicara sama Lia.""Rei? Istri elu bicara sama Lia? Oh iya, gue bahkan belum pernah bertemu istri lu, berkenalan pun belum! Sudah sekian lama .." Bimo mengingatkan."Iya iya, nanti di kantor elu bisa ketemu dan kenalan sama Rei." kata Grev. Kedua sahabat itu menghabiskan minum mereka kemudian kembali ke kantor.

Rei kaget saat pintu kantor Grev terkuak, suaminya nongol bersama seorang cowok. Oh, ini pasti Bimo, batin Rei. Memang cakep, tapi kalau sok cakep, justru jelek. Bimo tersenyum pada Rei."Dear .. ini Bimo." ujar Grev. Rei bangkit, melepaskan headphone dan menerima uluran tangan Bimo di depannya."Rei." kata Rei."Bimo, senang bertemu anda." balas Bimo sok formil. Rei tertawa. Mereka duduk bertiga."Well Bimo, apa perlu gue panggilkan Lia sekarang?" tanya Grev ga sabar. Dia ingin mendengar sendiri Bimo meminta maaf pada Lia dan mengajaknya menikah, meskipun hal itu sepertinya kurang etis."Hmmm .." Bimo berdehem."Kalau gitu kita keluar yuk mas .." ajak Rei."Loh, gue kan pengen dengar dear .." Rei terperanjat."Mas ini bagaimana sih?

Biarpun Bimo sahabat mas, tapi ini urusan hatinya, boleh sih ikut campur, tapi jangan sampai terlalu jauh .. lagian Bimo pasti malu. Tul ga Bim?" seru Rei. Grev nyengir."Betul juga Rei .. biar nanti Lia gue panggil ke ruangan gue aja. Oke, gue kesono dulu." ujar Bimo. Dia berlalu dari situ.
"Duh, padahal gue pengen denger loh dear ..." sesal Grev. Rei tertawa, sikap suaminya persis emak-emak yang ingin mendengar gosip terbaru."Sudah lah mas, beri mereka privacy untuk hal ini." hibur Rei. Grev duduk di balik meja."Iya deh .. ngalah deh hehehe.""Gitu dong. Oh iya mas, tadi gue denger sesuatu yang .. hem .. rada aneh." Rei teringat omongan Lia soal pasangan lines, bawahan Grev."Soal apa?" tanya Grev antusias."Soal Emmi dan Keke. Tadi Lia yang ngasih tau." Grev membeliak, Emmi dan Keke? Pasangan lines di kantornya? Oh hohoho .. Grev tertawa kecil.

"Gue dah tau kok dear ..." ujar Grev."Sudah tau? Kok ga ngasih tau Rei sih mas? Sejak kapan mereka gituan?" tanya Rei antusias. "Gituan apanya? Tidur bareng? Wahahahah dear ini loh .." goda Grev. Rei berjalan cepat menuju kursi Grev dan mencubit lengan suaminya gemas."Iggggghhh .. ditanyain kok .. hihhihi." Rei merasa seperti berada di ruang chat bersama 'Bas', saling canda, saling goda."Taunya sih sudah lama ... Mereka jadi pasangan lesbian sejak Emmi kena masalah. Masalah yang nyaris sama dengan Lia. Tapi Emmi lebih terpukul, masalahnya itu calon suaminya, mereka sedang dalam perencanaan pernikahan." tutur Grev. Rei anggut-manggut.
"Kasihan yah Emmi?" kata Rei. Grev mengangguk."Iya, nasibnya lebih buruk. Makanya dia begitu membenci Bimo setelah mendengar kehamilan Lia dan penolakan Bimo untuk menikahinya. Mereka, Emmi dan Keke, sama-sama membenci pria." jelas Grev lagi."Latar belakang Keke sendiri gimana mas?" dia penasaran banget. Iya lah kalau Emmi memang membenci para pria dan memilih sesama wanita, karena dia pernah terbentur pada masalah yang menyakitkan seperti itu."Keke .. dia itu tomboy .. dominan .. Keke kayaknya bawaan deh." jawab Grev."Wekz .. tapi ga semua cewek tomboy itu punya bakat jadi lesbian mas!" Rei melontarkan argumennya."Iya sih, ga semua, tapi ada kan?" sambar Grev. Mau ga mau Rei setuju juga. Memang ga semua cewek tomboy berbakat jadi lesbian. Latar belakang mereka menjadi lesbian pun macam-macam.

"Sudahlah dear .. jangan terlalu memikirkan mereka, biarkan saja mereka dengan hidup yang mereka jalani sendiri. Yang penting kita ga ikut terlibat bersama mereka." Rei tersenyum penuh arti. "Betul .. eh mas, lapar nih .. dah hampir waktu makan siang loh. Kita makan di rumah atau di kantin depan?" tanya Rei. Perutnya mulai terasa keroncongan. Dia memang lebih mudah terasa lapar sejak hamil."Di kantin depan saja yuk. Masih banyak kerjaan yang keteter nih dear. Nanti setelah makan siang, dear mau pulang atau temenin gue kerja?""Temenin mas kerja aja deh." mereka pun keluar makan siang. Di ruang kerja karyawan nampak bude Sarah masih berkutat dengan pekerjaannya. Dan Geyah, seperti biasa, memilih makan siang di kantor, sambil chating, sambil ngisi perut.

"Bude ga keluar makan?" tanya Grev begitu mereka melewati Sarah."Belum, nanti saja lah pak." jawab Sarah ramah trus melanjutkan pekerjaannya. Lia tak nampak batang hidungnya, pasti lagi bersama Bimo di ruang kerja wakil direktur. Doni pasti masih cari guide, karyawan outdoor mereka dan Yanus ... apa sih penyebab mata berairnya? Grev dan Rei bergegas menuju kantin depan bangunan kantor, makan siang disana, melewati Manda dan Ratna yang asik ngerumpi. Pasti ngerumpiin Lia, batin Rei.

Di rumah mereka, Sulis mengajak Pardi makan siang. Pardi telah bersiap dengan seragam smp nya, siap berangkat sekolah."Mbak Sulis ga makan?" tanya Pardi. Sulis menggeleng."Nanti aja Di .. kamu makan duluan aja." ujar Sulis. Sejak pagi tadi dirinya digoda Grev, pikirannya malah tambah ga karuan. Yang dipikirkannya hanya Grev dan Grev, majikan tampan itu. Oh, dirinya telah terjerat tanpa mampu melepaskan diri dari pesona Grev. Setelah Pardi selesai makan dan membereskan meja, Pardi pun berangkat sekolah, tinggal lah Sulis di dalam rumah itu sendirian, memikirkan Grev.

+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-+

Bulan Juni tiba, bulan liburan panjang bagi para siswa sekolah. Pardi menghabiskan waktu liburannya kembali ke rumah ma dan pa Grev. Usia kehamilan Rei memasuki bulan ke tiga. Ma Grev tambah perhatian padanya, kasih sayang nya ibarat mata air yang ga pernah habis. Bimo akhirnya menikahi Lia sebelum perut gadis muda itu membuncit. Rei dan Grev ikut hadir saat akad nikah dan resepsi pernikahan keduanya. Doni memilih ga ikut hadir pada hari 'bahagia dan penyelamatan' Lia, dan mungkin lebih baik begitu. Emmi dan Keke tambah lengket, 'pasangan' yang bahagia. Sulis masih terus berusaha melepaskan diri dari pesona Grev, tanpa ada upaya yang memuaskan. Bagaimana bisa lepas? Foto Grev saja selalu dipelototin setiap malam?!

Rei tengah assik mempelajari buku masak begitu telepon rumah berdering. Sulis bergegas menerima telepon."Mbak, telepon dari Mika .." Rei terlonjak, Mika! Ya ya, keponakannya itu pernah berjanji akan datang ke Jogja begitu liburan sekolah tiba, biar bisa barengan sama adik-adik dan mamanya."Hei Mika .. apa?!!! Sudah di Jogja?? Aduh, kenapa ga kasih kabar dulu sih? Bentar .. lima menit lagi kamu telpon kembali yah, tante telpon ke kantor om Grev dulu." Rei memencet tombol kantor Grev. Grev pun sama terkejutnya dengan Rei."Sudah di bandara?" tanya Grev dari seberang."Iya mas .. duh anak itu, tapi kok ga bareng-bareng sama mbak Rika yah mas?" tanya Rei penasaran."Ya mana gue tau lah dear .. ya udah .. gue ke sana sekarang jemputin Mika." ujar Grev sebelum menutup telepon. Rei langsung memanggil Sulis. Meminta Sulis untuk segera membereskan satu kamar tamu sedangkan dirinya membantu Sulis memasak. Aduh anak itu!! Telepon kembali berdering, Rei mengangkat gagang telepon, suara Mika disana. Rei membertahukannya, kalau Grev sedang dalam perjalanan menjemput Mika.

Masakan untuk makan siang telah beres, Sulis telah selesai membersihkan kamar tamu. Seprei diganti, lantai disapu, AC dihidupkan, kamar mandi disikat bersih. Sulis memang gesit. Rei sendiri telah mencuci muka lagi dan berganti baju, daster tepatnya, menunggu kedatangan keponakan tertuanya dan yang paling cerewet.
Satu jam kemudian mobil Grev datang. Mika langsung tereak-tereak ga karuan. Rei tertawa senang melihat sosok Mika yang .. hem .. tambah cantik dan oke."Tanteeeeeeeeeeeeeeeee Rrreeeeiiiii ..." tereak Mika dari depan pintu, berhambur ke dalam pelukan Rei. Rei mencium pipi keponakannya itu mesra. Duh, tambah kemayu!"Kamu ini bandel! Kenapa ga bilang dulu kalau mau datang?" semprot Rei sembari mengajak Mika ke kamar tamu. Mika menyeret koper kecilnya dengan cengiran di bibir."Nanti aja deh ceritanya, pokoknya sekarang Mika mau mandi, mau makan, eh tante dah pintar masa blum? Hihihihi .. Mika mau beres-beres baju dulu, baru deh Mika cerita ma tante.. oke?!" ujar Mika. Rei geleng-geleng kepala, anak ini memang selalu ceria dan ceriwis. Rei membiarkan Mika di kamar tamu, memberesi pakaiannya dan mandi. Dihampirinya Grev.
"Mas .. maaf ya, merepotkan." kata Rei. Grev yang saat itu sedang minum air hampir tersedak."Ya ampun dearrr ... jangan bilang gitu napeh .. eh, mas kembali ke kantor dulu yah. Dear makan saja bersama Mika." ujar Grev, dia nampak terburu-buru."Kenapa ga makan sekalian sama kita dulu mas?" tanya Rei lagi, menuntut."Dear .. banyak urusan hari ini .. dear ngerti kan?" pinta Grev. Rei akhirnya mengangguk. Grev mencium pipinya lembut dan kembali ke kantor. Sulis buru-buru menyiapkan makan siang.
Siang itu Rei, Mika dan Sulis makan bersama.

Mika awalnya kaget, ga mengira Sulis itu pembantu rumah tangga, lha wong cakep gitu. Mika mengira Sulis itu kerabat keluarga Grev yang tinggal bersama mereka."Kenapa mamamu dan adik-adik ga ikut Mika?" tanya Rei disela-sela mengunyah nasi. Lauk mereka siang itu, sayur bening, dadar jagung dan opor ayam."Hmmm Mama ga bisa ikut soalnya si Miko kena masalah tante." Rei mendengarkan dengan antusias. Miko, putra kedua bang Krisna kena masalah?"Masalah apa sih Ka?" tanya Rei penasaran."Habis ujian kenaikan kelas, Miko ketahuan lagi mencium pacarnya di belakang gedung sekolah, Miko dipanggil kepsek dan guru bp, reseh deh para guru itu, mana lagi orangtua pacarnya itu ga terima dan merasa malu. Mama sampai stres mikirin Miko tante." cerita Mika mengalir begitu saja. Rei tercekat."Itu wajar sih Ka, namanya juga abg, tapi kenapa orang tua pacarnya sampai ga terima? Anak mereka kan bukan dipaksa?" tanya Rei."Ya gitu deh .. sok jaga wibawa, sok jaga martabat! Huh, keki deh dengernya. Ya udah, Mika akhirnya diijinkan papa dan mama ke Jogja sendiri. Mika minta papa dan mama buat merahasiakan hal ini hihihihi." dasar anak bandel. Rei tertawa mendengarnya. Sedangkan Sulis tetap diam bersama mereka.

Sulis, menjadi perhatian Mika sejak pertama kali melihatnya dan ga menyangka dia seorang pembantu rumah tangga. Mika suka padanya, mungkin karena usia mereka nyaris sepantaran. Bagi Rei, bukan masalah bila Mika ingin ngobrol sama Sulis, toh dia sendiri menyukai Sulis. Sekali lagi, nasibnya tak semanis wajahnya.

to be continued!!



Saturday, July 03, 2004


Risalah Cinta part.17


Tidur Sulis gelisah, berbaring miring, telentang, telungkup, tetap saja wajah Grev, sang majikan, yang terus bermain di benaknya. Sulis melempar gulingnya dengan kesal. Seandainya nasibnya tidak seburuk ini, menjadi seorang pembantu rumah tangga. Seandainya orangtuanya tidak jatuh bangkrut dan meninggal akibat tak sanggup menanggung hidup susah. Seandainya dia bisa tetap menjadi anak orang 'mampu' dan meneruskan sekolah dan bekerja baik-baik sebagai orang kantoran. Mungkin dirinya bisa lebih berani terhadap Grev, mungkin dirinya lah yang saat ini berada di samping Grev, tidur dalam pelukan pria itu.

Sulis melemparkan bantalnya kini, tengkurap, menangis penuh penyesalan. Sulis ingin berteriak rasanya, namun suaranya tak mampu keluar, tertahan di kerongkongan, dia menangis lagi. Dia kemudian bangkit, membuka lemari, mengeluarkan sebuah diary dari tumpukan pakaian paling bawah, dan mengambil foto Grev yang terselip disitu. Foto yang di'ambil'nya dari album keluarga Grev. Tampan dan memukau. Dipandanginya foto itu lama-lama sampai dia sendiri jatuh tertidur dengan foto masih diantara jari-jarinya.

Malam yang dingin di Jogja. Kamar kost Emmi yang lumayan luas, ada Keke di situ. Ini lah kehidupan mereka di luar jam kerja, membagi rasa suka dan cinta, membagi kasih sayang dari seorang perempuan kepada perempuan lainnya.
"Em ... kasihan Lia yah?" ujar Keke sembari menghisap rokoknya dalam-dalam, menatap sayang ke arah Emmi. Pasangan lesbian yang awet, terhitung telah 3 tahun mereka 'pacaran'.
"Iya, dasar Bimo brengsek!! Semua pria brengsek!!" rutuk Emmi kesal, si feminin yang ternyata bisa berubah galak bila berhadapan dengan masalah laki-laki pendusta. Pengalaman pahitnya di masa lalu membuatnya ga bisa dan ga mau lagi percaya pada makhluk laki-laki.
"Yea sayang .. begitulah mereka, para laki-laki itu, taunya hanya menyakiti hati kita, wanita." ujar Keke lagi, masih menghisap rokoknya dalam-dalam. Emmi mendekati Keke dan mencium pipi 'pacar'nya itu mesra.
"Karena itu gue lebih memilih elu Ke ... mmmwa ..." Emmi kembali menghujani wajah Keke dengan serbuan ciuman. Keke mematikan api rokok dan melayani Emmi, selayaknya suami terhadap istri, kehidupan para lesbian!!

"Ke ... gue puas, lebih puas merasakannya bersama elu." ujar Emmi terengah-engah. Keke tersenyum bangga. Dia wanita dominan, tomboy dan mencintai Emmi. Masih diingatnya untuk pertama kali Emmi berada dalam pelukannya, menangis karena ditinggal calon suami dalam kondisi hamil muda. Keke lah yang menemani Emmi ke dukun 'kampung' untuk menggugurkan kandungannya. Keke lah yang kemudian menjadi tempat Emmi berkeluh kesah, berbagi duka. Keke lah yang kemudian menjadi 'pacar' Emmi dan mereka menikmati kebersamaan mereka yang 'tidak wajar' tersebut.
"Yea sayang, kita sesungguhnya tidak butuh para pria brengsek!!" cetus Keke. Emmi terkekeh mendengarnya.
"Lia mengalami hal yang nyaris serupa dengan gue. Lia yang malang, seandainya dia menerima Doni, keadaannya ga bakal jadi runyam begini. Bimo itu pecundang tak tau diri!! Ingat ga gimana Bimo pertama kali memarahi kita? Ingin rasanya gue ludahi mukanya!" ujar Keke lagi.
"Yup! Menjijikan si Bimo itu. Keadaannya tambah kacau belakangan ini. Rasain!! Dasar pria!" Emmi menimpali dan menarik selimut menutupi tubuhnya.

Masih malam yang dingin di Jogja, di suatu tempat, sudut Jogja yang tak begitu ramai, Lia menangis dalam pelukan Doni. Kabar kehamilannya menyebar luas di kantor seperti berita hangat perselingkuhan para artis. Dalam satu hari, dirinya menjadi bahan gosip yang tiada habisnya. Doni membelai lembut rambut gadis muda itu, memberi ketenangan ke dalam batinnya, andai gue bisa, batin Doni.
"Lia .. sudah, jangan menangis." hibur Doni. Lia sesenggukan.
"Sesak mas Don, sesekkk" ujar Lia.
"Gue bisa rasakan ... semua yang elu rasakan." kata Doni lembut.
"Pak Bimo jahat .. bila mengingat Lia jatuh ke dalam rayuannya, benci sekali rasanya mas." Doni tersenyum getir. Inilah nasib wanita-wanita yang didekati Bimo. Kalau bule sih, Doni ga mempermasalahkan, itu urusan Bimo. Tapi Lia? Lia yang disayanginya? Brengsek elu Bim! Mentang-mentang jabatan elu di kantor lebih tinggi dari kita. Pak Grev saja tidak seperti elu! Maki Bimo dalam hati.

"Lia .. maukah elu menikah dengan gue?" pertanyaan Doni ini mengagetkan Lia, dia terperangah. Seorang Doni yang pernah ditolaknya mau menikahinya, bertanggujawab atas bayi yang dikandungnya? Buah ketololannya bersama Bimo? Lia menatap wajah Doni dihadapannya, ga percaya.
"Mas Doni ngaco!" semprotnya. Mimik wajah Doni amat serius.
"Gue ga ngaco, gue serius. Seandainya Bimo menolak bertanggung jawab, gue bersedia. Gue ga mau elu disia-siakan, dan gue ga akan menyiakan elu." ujar Doni tulus. Lia mengalihkan pandangannya pada bintang-bintang di langit. Seandainya segalanya semudah ini .. seandainya ... Lia mendengus kesal begitu wajah Bimo kembali melintas.
"Lia masih ingin sendiri dulu mas Doni ..."
"Sampai kapan? Sampai perut lu membuncit dan orangtua elu tau?" cecar Doni. Lia tertunduk lesu. Gawatlah kalau sampai orangtuanya tau. Gawat.
"Hmm Lia masih harus berpikir .. itu saja mas .." Doni menarik napas panjang.
"Oke, tapi jangan lama-lama." Lia mengangguk.

Ga brapa lama Doni mengajak Lia pulang. Diantarnya gadis itu sampai di depan rumah. Lia masih melihat motor Doni hilang di telan jalanan, lalu masuk ke rumahnya sendiri. Manusia, selalu punya masalah sendiri-sendiri......

+-+-+-+-+-+-+-+-+-+-+

Usia kehamilan Rei memasuki bulan kedua. Nafsu makannya pun menjadi-jadi. Justru itu yang diharapkan Grev, Rei memang susah disuruh makan! Perutnya masih belum membuncit, tapi ma Grev sudah mulai membelikannya daster-daster cantik. Rei tertawa lebar, lucu saja membayangkan dirinya memakai daster. Grev pun ikut tertawa, ga bisa dibayangkannya seorang Rei yang selalu memakai celana panjang terpaksa memakai daster! Hari-hari mereka lebih ceria.

Berbeda dengan Sulis, hatinya kian teriris-iris menyaksikan kemesraan majikannya. Dia lebih banyak melamun sekarang, meskipun Rei sering mengajaknya ngobrol berdua di dapur, menemani Sulis memasak. Sulis masih susah menghilangkan pesona Grev dari otak dan hatinya.

Berbeda dari Rei, Lia nampak bertambah murung. Bimo memang ga jadi ke Jepang dan masih tetap bekerja, tapi masih belum ada tanda-tanda dari Bimo kalau pria itu akan menikahinya. Hati Lia nelangsa membayangkan seandainya perutnya membuncit nantinya. Siapakah yang anak bertanggung jawab? Doni kah? Atau Bimo? Dengan siapa dirinya harus berbagi? Bude Sarah? Ah, bude Sarah punya banyak urusan dengan keluarganya selain pekerjaan. Lia mengigit bibir, bingung, cemas dan gundah. Doni terlalu baik untuk bertanggung jawab atas kehamilannya.

"Mas, gimana Lia?" tanya Rei di suatu pagi, tatkala mereka tengah sarapan. Sulis memilih menyingkir dari dapur, dirinya heran, mengapa majikannya tidak memilih sarapan di ruang makan yang besar itu? Dirinya terpaksa menyingkir ke halaman belakang, menatap mawar merah yang subur karena rajin disiram Pardi.
"Belum ada perkembangan .. Bimo masih diam meskipun dia ga jadi ke Jepang." jawab Grev.
"Rei .. gimana kalau elu ngomong sama Lia? Dia nampak murung akhir-akhir ini. Bukan rahasia lagi sih kalau Doni mau bertanggung jawab, tapi kayaknya Lia masih kebingungan. Gue sendiri sih ingin si Bimo bertanggung jawab, bukan Doni. Bimo harus bisa bertindak lebih dewasa." ujar Grev lagi.
"Boleh juga tuh mas. Lagian Rei belum pernah bertemu Bimo. Bagaimana kalau Rei ikut mas ke kantor hari ini?" usul Rei.
"Boleh!! Tapi awas ketahuan ma yah .. tau sendiri kan gimana ma hehehe." kata Grev, Rei tertawa. Ma Grev memang terlalu mengkhawatirkan dirinya. Kelewat memanjakan dirinya!

Selesai sarapan Rei bersiap, ikut Grev ke kantor. Sambil menunggu Rei, Grev menuju halaman belakang, mau lihat Pardi nyiram bunga, eh disitu ada Sulis, yang duduk termenung.
"Sulis, pagi-pagi kok ngelamun." ujar Grev, membuyarkan lamunan Sulis. Jantung Sulis kian cepat berpacu.
"Eh mas Grev ... ga ngelamun kok mas, lagi merhatiin Pardi." pipi Sulis bersemu merah. Degup jantung Sulis kian tak beraturan, sosok yang dicintainya berdiri dengan gagah dihadapannya.
"Gadis cantik itu ga boleh ngelamun pagi-pagi hehehe. Ya sudah kalau gitu, nanti masak yang enak yah." goda Grev. Sulis mengangguk mantap. Hah, gadis cantik? Sulis cantik? Gadis itu rasanya ingin bercermin segera!!! Rei datang menghampiri mereka.
"Ayok mas, sudah jam tujuh nih." ajak Rei. Grev mengangguk.
"Oh iya Sulis, kalau kita belum pulang saat makan siang, kamu dan Pardi makan lah dahulu, ga pa pa kok. Lagian kasihan Pardi kan sekolah nanti siang, ga baik kalau ke sekolah tanpa makan dulu." kata Rei. Sulis mengangguk lagi.
"Iya mbak .. " Sulis memandangi kedua majikannya berlalu.

Grevidi Travel Agent telah ramai. Selain karyawannya, pagi itu Manda dan Ratna dibuat sibuk sama beberapa bule yang ingin memakai jasa mereka. Susahnya adalah bule-bule itu saling berebut ingin mendahului, padahal mereka itu satu grup! Manda terlihat berusaha menyabarkan mereka.
"Mr. Samuel, you have to follow the rules here .. bla bla bla .." Rei tersenyum sendiri. Mana itu bule aromanya ... alamakkk.

Di sudut ruang kerja Geyah nampak asyik di depan monitor sambil menyetel lagu-lagu lembut yang terngiang disitu. Bude Sarah langsung menyapa mereka.
"Pagi pak Grev dan ibu .. hehee." Sarah tersenyum manis.
"Aduh bude .. masa panggil saya ibu sih .. Rei saja gitu hahaha." jawab Rei, dia merasa akrab dengan karyawan suaminya.
"Doni dan Yanus kemana?" tanya Grev begitu tak melihat dua karyawan pria disitu.
"Doni lagi hubungi si Herman, guide untuk rombongan bule Perancis dan Yanus pagi ini harus ke rumah sakit dulu, matanya sejak kemarin sore terus berair." ujar Emmi.
"Bimo sudah datang?" tanya Grev lagi. Kali ini Keke yang menjawab,
"Pak Bimo mana pernah datang pagi pak?" ujarnya sambil melirik Lia yang semakin menunduk, entah apa yang ditulisnya. Grev mengangguk mengerti, diajaknya Rei masuk ke kantornya.

Di dalam kantor Grev.
"Dear, mau langsung bicara sama Lia? Gue terus terang kasihan sekali melihat keadaannya." ujar Grev. Rei mengangguk.
"Lalu mas?" tanya Rei.
"Gue mau keluar sebentar ... gue harus ngomong lagi sama Bimo." Rei setuju. Setelah Grev keluar lagi, Rei memanggil Lia ke kantor Grev. Lia kaget, ga sangka istri bos nya ingin bicara dengannya. Mau dipecatkah? Oh tidak, Lia keringat dingin membayangkan dirinya dipecat.

Rei mengajak Lia duduk di sofa, memberinya minum dan menatap wajah gadis muda itu. Mereka, sama-sama tengah hamil, dalam kondisi yang berbeda. Belum sempat Rei bicara, Lia langsung memecahkan kesunyian diantara mereka.
"Bu, tolong .. saya jangan dipecat karena .. karena .." Lia mulai menangis. Rei tersenyum bijak dan mendekati gadis itu, duduk disampingnya dan bicara.
"Untuk apa memecatmu? Itu akan menambah penderitaan batinmu Lia." ujar Rei lembut. Lia menghapus air matanya.
"Lalu?"
"Ibu ingin bicara dari hati ke hati dengan kamu Lia."
"Dari hati ke hati? Maksut ibu?" tanya Lia.
"Tentang perasaan kamu saat ini .. ibu tau, berat .. amat berat bagimu untuk menghadapi dilema seperti ini. Amat sangat!"
"Ini memang berat bu .. " Lia kembali menangis.
"Siapa sebenarnya yang kamu cintai?" tanya Rei pelan.
"Saya .. "
"Ya??"
"Saya terus terang mencintai pak Bimo bu, rasanya setiap wanita yang didekatinya pasti langsung jatuh cinta."
"Ibu maklumi itu .."
"Siapa yang bisa menduga kalau dibalik pesona pak Bimo yang begitu hebat, tersembunyi kebusukan hati!" ujar Lia lebih keras.
"Ya ibu rasa-rasanya mengerti Lia."
"Pak Bimo itu .. bre .. ng ... sek!!" cetus Lia.
"Lalu bagaimana perasaanmu pada Doni?" pertanyaan Rei berikut sedikit merubah air muka Lia menjadi lebih kelam.
"Mas Doni amat baik dan mencintai saya, meskipun dari luar nampaknya dia hanya bercanda terhadap saya. Tapi saya telah terjerat dan jatuh ke dalam kubangan lumpur pak Bimo .. Mas Doni malah ingin menikahi saya bu, tapi saya ga mau, saya ingin pak Bimo bertanggungjawab, ini anaknya!!" ya ya ya, Rei mengerti.
"Lia, ibu sarankan, banyaklah berdo'a, tahajud, minta sama yang diatas untuk segera memberimu jalan keluar, membebaskanmu dari semua ini. Dan ingat, apa pun jalan yang diberi Allah nantinya, terima lah ... karena itu yang terbaik buatmu." ujar Rei bijak.
"Terima kasih bu. Ibu baik, mau mendengar keluh kesah saya .. " ujar Lia tulus. Rei tersenyum hangat. Andai saja sedikit kebahagiaannya bisa dibagi pada gadis muda ini ... Rei mendesah.


to be continued!!


tuteh pharmantara
living in Ende - Flores
Email Me



Name :
Web URL :
Message :